JAKARTA – Ekonom Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Syafrudin Karimi menilai kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump merupakan kebijakan yang disengaja untuk membuat perekonomian dunia kecau.
Bukan tanpa sebab, ia menduga kekacauan yang disengaja itu untuk mengalihkan isu global, dari isu kemanusiaan seperti penderitaan warga Gaza atas invasi Israel, yang tak lain adalah sekutu AS.
“Kebijakan tarif Trump bukan sekadar soal neraca perdagangan, melainkan mencerminkan arsitektur kekuasaan global yang memungkinkan kekejaman tetap berlangsung selama angka ekonomi terlihat ‘stabil’,” katanya dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Senin (14/4).
BACA JUGA
- Ukraina Was-was Saat Rusia Tawarkan Perdamaian
- Sistem Penyediaan Air Minum Kolaps, Warga Gaza Nyaris Meninggal Kehausan
- Warga Gaza Ogah Dapat Bantuan dari Amerika dan Israel
- Sama-sama Musuhi AS, China – Rusia Kompak Bahas Koordinasi Strategis
- Tak Mau Konflik Berlarut, China Harap AS Bersedia Negosiasi
Baginya, kebijakan ekonomi dalam bentuk tarif bukanlah alat netral sebab digunakan tidak hanya untuk melindungi ekonomi domestik, tetapi juga untuk mengatur ulang narasi global.
Lebih jauh, dunia saat ini berada di persimpangan sejarah dimana satu sisi stabilitas ekonomi menjadi kebutuhan mutlak dan di sisi lain terdapat suara-suara kemanusiaan tengah tenggelam di bawah beban diplomasi dan ketakutan.
Menurut Syafrudin, kebijakan tarif yang dibuat Trump menjadi alat membungkam Gaza. Dimana ia melihat, wajah dari kekuatan yang sama yakni kekuasaan yang menekan lewat ekonomi dan membungkam lewat ketakutan.
Selama dua tahun terakhir semakin sedikit negara yang secara terbuka mengecam kekerasan sistemik di Gaza dan salah satu alasannya ialah ketakutan terhadap pembalasan ekonomi dari negara-negara besar Pro Israel, utamanya AS.
Ia menilai ketika hubungan dagang menjadi senjata diplomatik, maka solidaritas kemanusiaan pun dijadikan sandera. Terbukti, negara-negara yang berteduh pada ekspor AS lebih memilih untuk diam.
“Inilah wajah ekonomi global hari ini yakni efisien, tapi membungkam,” katanya.
Menurutnya, Indonesia dan dunia harus sadar bahwa menolak tarif sepihak dan berdiri bersama Gaza bukanlah dua agenda terpisah, melainkan satu perjuangan yang sama untuk menjaga integritas dunia yang manusiawi.
“Sudah saatnya melihat ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi sebagai ruang moral,” tegasnya.
Indonesia terdampak langsung oleh tarif proteksionis Amerika Serikat dimana produk tekstil, komponen elektronik dan hasil industri manufaktur lainnya menjadi sasaran tarif tinggi yang mampu menyebabkan efek domino yang luas hingga soal pengangguran, kemiskinan, bahkan kontraksi konsumsi rumah tangga.
Namun di saat yang sama, Indonesia juga memiliki posisi diplomatik dalam membela Palestina. Inilah dilema moral dan politik yang tidak mudah yakni tetap menjaga suara kemanusiaan sembari menghadapi tekanan ekonomi global yang nyata.
Lebih lanjut, Indonesia tidak boleh hanya menjadi korban dan seharusnya mengambil beberapa langkah strategis di antaranya diversifikasi pasar ekspor khususnya ke Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan.
Kemudian, melakukan diplomasi perdagangan berbasis solidaritas untuk membentuk blok dagang alternatif dengan nilai kemanusiaan serta mengambil kebijakan fiskal ekspansif yang tepat sasaran khususnya di sektor padat karya dan pasar domestik.
Termasuk pula melakukan penguatan industri dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor utama dan Indonesia dapat menginisiasi forum internasional yang membahas etika perdagangan global sebagai sebuah upaya untuk menyeimbangkan logika pasar dengan nurani kemanusiaan.