JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati melontarkan kritikan tajam terhadap kebijakan tarif timbal balik yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kritikan itu disampaikannya saat berbicara di acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI, yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta, pada Selasa (8/4).
Sri Mulyani menjelaskan, kebijakan tarif Trump tersebut sepenuhnya bersifat transaksional dan tidak memiliki dasar dalam ilmu ekonomi.
BACA JUGA
- Nasaruddin Umar Terima Gelar Doctor of Divinity dari Hartford International University
- Donald Trump Setuju Punya Kesepakatan dengan Iran, Asal….
- Donald Trump Perintahkan Seluruh Perusahaan Obat Beri Harga Murah Untuk Warga Amerika
- Perdagangan Global Kembali Bergairah Usai AS-China Sepakat Pangkas Tarif Impor
- AS-China Sepakat Akhiri Perang Dagang untuk Sementara
“Itu is purely transactional. Tidak ada landasan ilmu ekonominya,” katanya, seperti dikutip Holopis.com, Selasa (8/4).
Karena itu, ia menyindir bahwa di tengah situasi seperti ini, para ekonom tak bisa banyak mengandalkan ilmu yang selama ini dipelajari.
“Jadi teman-teman ini ada di ISEI di sini, mohon maaf tidak berguna Pak ilmunya hari-hari ini,” ucap Sri Mulyani dengan nada satir.
Ia juga menyampaikan bahwa tarif resiprokal yang diterapkan AS terhadap sekitar 60 negara, termasuk Indonesia, tidak mencerminkan metode perhitungan ekonomi yang lazim.
Bahkan, menurutnya, para ekonom berpengalaman pun kesulitan mencerna kebijakan yang ditempuh Trump. “Jadi ini juga sudah tidak berlaku lagi untuk ekonomi,” ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan bahwa pendekatan Trump sebenarnya lebih menitikberatkan pada upaya menutup defisit neraca perdagangan. Ia menilai tindakan tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan landasan ekonomi yang jelas.
“Itu artinya saya tidak ingin tergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain,” tuturnya.
Sebagai informasi, AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump secara resmi memberlakukan tarif timbal balik dengan besaran antara 10 hingga 39 persen. Untuk Indonesia sendiri, tarif yang dikenakan mencapai 32 persen.
Sementara itu, negara-negara lain juga dikenakan tarif bervariasi, seperti China 34 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen, India 26 persen, Jepang dan Malaysia masing-masing 24 persen, Uni Eropa 20 persen, Filipina 17 persen, dan Singapura 10 persen.