HOLOPIS.COM, JAKARTA – KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengantongi pihak-pihak yang diduga menikmati aliran uang korupsi pengadaan barang dan jasa berupa penempatan iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk atau Bank BJB (BJBR) periode 2021-2023. Lembaga antikorupsi saat ini sedang mempertajam bukti dan informasi terkait dugaan tersebut.
“Kita sudah dapat memetakan siapa saja pihak-pihak yang menikmati terkait dengan dana non-budgeter ini,” ungkap Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di gedung KPK, Jakarta, seperti dikutip Holopis.com, Kamis (13/3).
Sejauh ini KPK menduga kerugian negara atas kasus ini mencapai Rp 222 miliar. Angka itu disebut dana non-budgeter hasil dugaan perbuatan rasuah sejumlah pihak. Budi memastikan dana non-budgeter itu akan didalami lebih lanjut oleh pihaknya.
“Ini masih kita telusuri,” ujar Budi.
KPK menduga dana non-budgeter hasil dugaan perbuatan rasuah itu ditampung atau dikelola sejumlah agensi iklan. Diduga dana non-budgeter itu merupakan hasil penggelembungan harga penempatan iklan.
“Di sini, kami prosesnya baru melaksanakan terkait dengan penelusuran penggunaan uang tersebut, jadi kami menggunakan follow the money, uang-uang tersebut siapa saja yang menerima, kemudian digunakan untuk apa, apakah sudah dilakukan perubahan bentuk atau apa baru sejauh itu,” ucap Budi.
Adapun agensi yang mendapat aliran uang iklan dari Bank BJB adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), dan PT BSC Advertising.
“Kami tidak bisa merilis terkait dengan detail siapa-siapa saja yang menerima terkait dana non-budgeter ini karena kita belum mengkonfirmasi terkait dengan catatan-catatan dari hasil penggeledahan yang kita temukan maupun dari transfer-transfer yang telah kita dapatkan dari PPATK,” tandas kepala satuan tugas (kasatgas) yang menangani kasus korupsi pengadaan iklan di Bank BJB itu.
Diketahui, KPK telah menetapkan lima tersangka pengadaan barang dan jasa berupa penempatan iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk atau Bank BJB (BJBR) periode 2021-2023. Lima tersangka itu yakin mantan Dirut Bank BJB, Yuddy Renaldi; Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB, Widi Hartoto (WH).
Kemudian, Ikin Asikin Dulmanan selaku Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri; Suhendrik (S) selaku Pengendali Agensi BSC advertesing dan Wahana Semesta Bandung Ekspress); dan R. Sophan Jaya Kusuma (RSJK) selaku pengendali agensi Cipta Karya Mandiri Bersama (CMKB) dan Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB).
KPK menduga perbuatan rasuah para tersangka merugikan keuangan negara sekitar Rp 222 miliar. Dalam kasus ini, KPK menduga terjadi sejumlah kecurangan dalam proses penempatan iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk atau Bank BJB (BJBR) periode 2021-2023. Salah satunya adalah pembayaran dengan nominal yang tidak sesuai.
Awalnya, penempatan iklan dilakukan Bank BJB ke enam agensi. Sejatinya nilainya mencapai Rp 409 miliar. Namun, dari jumlah itu, yang dibayarkan oleh agensi kepada sejumlah media totalnya hanya sekitar Rp 100 miliar.
KPK menduga pemilihan agensi itu diatur oleh Yuddy Renaldi yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Utama Bank BJB bersama seorang pejabat pembuat komitmen (PPK), yakni Widi Hartoto selaku pimpinan divisi corporate secretary. KPK menduga agensi-agensi itu melakukan kesepakatan rasuah dengan Yuddy Renaldi dan Widi sehingga merugikan negara ratusan miliar rupiah.
KPK menduga Rp 222 miliar yang diduga kerugian negara atas kasus itu masuk sebagai dana pemenuhan kebutuhan non-budgeter. KPK menduga Yuddy Renaldi dan Widi Hartoto selaku PPK mengetahui dan atau menyiapkan pengadaan jasa agensi tahun 2021 – 2023 sebagai sarana kickback.
KPK menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.