JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan pandangannya mengenai nasib kelompok masyarakat miskin terkait rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dijadwalkan pada tahun 2026.
Dalam rapat kerja bersama DPR-RI Komisi IX di Jakarta Pusat, Selasa (11/2), Menkes Budi menjelaskan bahwa kenaikan iuran ini tidak dapat dihindari mengingat inflasi belanja kesehatan yang mencapai 15 persen per tahun, sementara iuran BPJS Kesehatan tidak mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir.
Menkes Budi menegaskan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, keuangan BPJS Kesehatan akan terancam.
“BPJS terakhir naik tarif pada tahun 2020, dan sekarang sudah tahun kelima. Setiap tahun inflasi mencapai 15 persen, jadi tidak mungkin dana yang ada saat ini dapat menanggung kenaikan tersebut,” ujarnya seperti dikutip Holopis.com.
Perlindungan untuk Masyarakat Miskin
Meskipun ada rencana kenaikan iuran, Menkes Budi memastikan bahwa kelompok masyarakat miskin akan tetap menjadi penerima bantuan iuran (PBI).
Melalui skema PBI yang sudah ada, iuran BPJS Kesehatan untuk masyarakat miskin akan di-cover 100 persen. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020, pemerintah akan membayar iuran sebesar Rp 42 ribu per bulan untuk peserta kategori PBI.
“Jika ada kenaikan, kita harus adil. Masyarakat miskin harus tetap di-cover 100 persen oleh PBI. Tugas pemerintah adalah memberikan layanan kesehatan,” tambah Menkes Budi.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah memastikan bahwa peserta BPJS Kesehatan yang mendapatkan manfaat PBI benar-benar tepat sasaran.
Menkes Budi mencatat bahwa dalam beberapa kasus, peserta penerima manfaat PBI justru berasal dari kalangan yang mampu.
Untuk mengatasi masalah ini, Menkes Budi mengusulkan agar data PBI dibandingkan dengan data transaksi perbankan dan tagihan listrik.
“Saya minta waktu kepada DJSN dan teman-teman BPJS untuk memperbaiki data dengan cara tersebut. Data dari listrik dan perbankan adalah yang paling berkualitas,” tandasnya.