HOLOPIS.COM, JAKARTA – Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib atau tatib DPR yang memberikan kewenangan kepada DPR mengevaluasi pejabat dinilai bertentangan dengan undang-undang. Sebab itu, pihak yang keberatan dengan revisi tatib DPR dapat menggugat ke Mahkamah Agung (MA).
“Iya betul (bertentangan dengan UU). Hal itu yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan judicial review ke MA RI,” ucap Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Johanis Tanak dalam keteranganya kepada wartawan, seperti dikutip Holopis.com, Kamis (6/2).
Salah satu poin penting dalam revisi tatib DPR yang disahkan rapat paripurna pada Selasa (4/2) yakni memberikan kewenangan tambahan kepada DPR mengevaluasi berkala pejabat dan pimpinan lembaga yang diajukan, disetujui atau diberikan pertimbangan oleh DPR. Evaluasi itu tidak mustahil berujung pada pencopotan atau pemberhentian.
Adapun para pejabat itu dapat meliputi pimpinan KPK, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Agung (MA), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), serta gubernur Bank Indonesia, dan dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dikatakan Tanak, surat keputusan pemberhentian pejabat jika ditinjau dari sudut pandang hukum administrasi negara hanya dapat dilakukan oleh pejabat dari lembaga yang mengangkat pejabat tersebut atau surat keputusan pengangkatan dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) berdasarkan gugatan yang diajukan oleh orang atau badan yang merasa kepentingannya dirugikan. Hal itu diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.
Selain itu, kata Tanak, ditinjau dari sudut pandang hukum tata negara, khususnya mengenai urutan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, posisi peraturan DPR berada di bawah UU. “Bila ada pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh peraturan DPR tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan judicial review ke MA,” tutur dia.
Dalam konteks pimpinan KPK, lanjut Tanak, pemberhentian pimpinan KPK hanya dapat dilakukan oleh presiden atau putusan PTUN. Selain itu, ditekankan Tanak, pemberhentian pimpinan KPK juga harus sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Disebutkan dalam Pasal 32 UU 19/2019, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, melakukan perbuatan tercela, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU KPK.
“Surat Keputusan Pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019 yang mengatur mengenai syarat Pemberhentian Pimpinan KPK,” tegas Tanak.