JAKARTA – Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim di seluruh dunia. Ibadah ini berlangsung selama satu bulan penuh dalam kalender Hijriyah, yaitu di bulan Ramadhan.
Namun, sebagian besar perempuan tidak dapat menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh karena adanya uzur atau halangan tertentu. Oleh karena itu, mereka diwajibkan mengganti puasa yang tertinggal di hari lain. Hal ini juga dialami oleh para istri Rasulullah SAW.
Dalam ajaran Islam, hubungan Rasulullah SAW dengan istri-istrinya menjadi teladan bagi umat Muslim, terutama dalam hal kesetiaan, pengorbanan, dan dedikasi dalam kehidupan rumah tangga.
Salah satu aspek yang menarik adalah bagaimana para istri Nabi, termasuk Aisyah, selalu mempersiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan beliau dengan sepenuh hati.
Para ulama hadis seperti Syekh Musthafa Dib al-Bugha dan Muhammad Fuad Abdul Baqi mencatat bahwa istri-istri Nabi tidak meminta izin untuk berpuasa karena mereka khawatir tidak dapat memberikan pelayanan kepada beliau saat dibutuhkan.
Menurut catatan Syekh Musthafa Dib al-Bugha dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Shahih Muslim, Aisyah selalu mempersiapkan dirinya sepenuhnya untuk Rasulullah SAW, termasuk ketika beliau ingin berduaan dengannya.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi Aisyah, tetapi juga untuk seluruh istri Nabi. Mereka selalu berusaha menjaga kebahagiaan dan keridhaan Rasulullah SAW karena tidak tahu kapan beliau akan membutuhkan mereka. Oleh sebab itu, mereka khawatir jika sedang berpuasa, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan beliau dengan maksimal.
Berdasarkan alasan tersebut, para istri Nabi memilih untuk tidak meminta izin berpuasa karena takut mengurangi kualitas pelayanan mereka kepada Rasulullah SAW. Meskipun Nabi SAW tidak akan keberatan jika mereka berpuasa, mereka tetap merasa lebih nyaman menunda puasa agar bisa sepenuhnya siap saat beliau membutuhkan.
Terkait alasan mengapa Aisyah memilih bulan Sya’ban untuk mengganti puasanya, hal ini dikarenakan bulan tersebut adalah waktu di mana Nabi SAW sering menjalankan puasa sunnah. Dengan demikian, para istri Nabi tidak perlu khawatir akan kebutuhan beliau karena beliau sendiri sedang berpuasa.
Ditulis dari Syekh Musthafa Dib al-Bugha :
وأما في شعبان فإنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم أكثر أيامه فتتفرغ إحداهن لصومها أو تضطر لاستئذانه في الصوم لضيق الوقت عليها
Artinya: “Adapun pada bulan Sya’ban, Nabi berpuasa pada sebagian besar hari-harinya. Kemudian salah satu istri-istri Nabi meluangkan untuk berpuasa di dalamnya. Atau di antara mereka memang terdesak untuk meminta izin kepada Nabi untuk melaksanakan puasa karena waktunya sudah mepet” (Musthafa Dib al-Bugha, Ta’liq Shahih al-Bukhari, [Daru Thuqin Najah, 1422], juz 3, hal. 35).
Bahkan, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits di atas juga menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sebelum melunasi utang puasanya. Ia berpandangan bahwa seseorang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib tidak diperbolehkan berpuasa sunnah.
Oleh karena itu, Aisyah menunda qadha puasanya hingga bulan Sya’ban karena sejak bulan Syawal hingga Rajab ia masih memiliki utang puasa yang harus dilunasi.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa istri-istri Nabi memiliki tingkat kesetiaan dan pengorbanan yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan Rasulullah SAW. Mereka tidak hanya menjalankan tugas rumah tangga, tetapi juga berusaha menjaga kebahagiaan dan keridhaan beliau dalam setiap aspek kehidupan.
Pilihan Aisyah untuk mengqadha puasa di bulan Sya’ban bukan hanya karena kebiasaan Nabi SAW yang sering berpuasa pada bulan tersebut, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap tugas mereka sebagai istri-istri Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam bis-shawab.