Okupansi Hotel di Jogja Tembus 80%, Wisatawan Australia Mulai Banjiri Kota Gudeg
HOLOPIS.COM, YOGYAKARTA – Aura pergantian tahun di Tanah Mataram kian terasa kental. Memasuki periode 26-28 Desember 2025, grafik pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meroket tajam dengan tingkat okupansi hotel rata-rata menyentuh angka 80%.
Sebuah angka yang membuktikan bahwa Jogja belum kehilangan tajinya sebagai kiblat wisata perayaan akhir tahun. Nadi utama keramaian masih berdenyut kencang di poros imajiner Malioboro hingga ke utara menuju kaki Merapi di Kabupaten Sleman.
Ada yang unik dari pola kunjungan kali ini. Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, menyoroti fenomena "spontanitas" yang dilakukan para pelancong. Alih-alih mengamankan kamar lewat jempol di layar ponsel jauh-jauh hari, banyak wisatawan yang memilih melakukan blind trip alias datang langsung ke lokasi.
"Wisatawan banyak yang tidak melakukan reservasi, tapi datang langsung ke hotel," ungkap Deddy melansir data dari Antara.
Peta asal wisatawan pun mulai bergeser. Jika biasanya didominasi "saudara tua" dari Jakarta dan sekitarnya, kini muncul gelombang baru dari Negeri Kanguru. Australia secara mengejutkan masuk dalam radar tren pasar baru mendampingi Wisatawan Mancanegara setia asal Malaysia dan Singapura.
“Mancanegara ada Malaysia, Singapura, dan ini tren baru: Australia sudah mulai masuk sejak tanggal 26 kemarin,” imbuh Deddy.
Meski rapor reservasi untuk 'Malam Keramat' 31 Desember saat ini masih terparkir di angka 40-60%, PHRI menatap optimistis. Prediksinya, angka ini akan meledak hingga 95% tepat di hari H, mengulang memori manis kesuksesan tahun lalu.
Guna menjaga marwah wisata Jogja agar tetap ramah di kantong, PHRI memasang pagar aturan yang ketat. Tidak boleh ada "aksi "ngepruk" harga. Batas kenaikan tarif hotel dipatok maksimal 40% dari tarif publikasi normal, demi memastikan wisatawan pulang membawa kenangan, bukan keluhan.
Namun, di balik gemerlap lampu kota, Deddy menyelipkan keresahan terkait menjamurnya akomodasi "bayangan". Fenomena indekos harian dan homestay ilegal menjadi sorotan tajam karena dianggap menguapkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Itu sebetulnya kebocoran PAD. Kami berharap pemerintah bisa gerak cepat melakukan penertiban,” tegasnya, mengingatkan pentingnya aspek legalitas demi keadilan bisnis pariwisata.