NIC Nilai Tafsir Kapolri Kangkangi Putusan MK 114, Jadi Preseden Buruk
HOLOPIS.COM, JAKARTA - Founder Nusa Ina Connection (NIC) Abdullah Kelrey menyayangkan sikap Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang menerbitkan Perkap atau Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur.
Menurutnya, Perkap tersebut justru menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan di lembaga sipil non organisasi Kepolisian.
"Masalah utama Perpol 10/2025 bukan terletak pada teks normatifnya semata, tetapi pada preseden yang ia ciptakan: bahwa putusan MK dapat ‘diterjemahkan ulang’ oleh institusi yang justru menjadi objek pembatasan konstitusional," kata Abdullah Kelrey kepada Holopis.com, Kamis (18/12/2025).
Ia menegaskan bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Tidak boleh ada regulasi setelahnya yang justru bertentangan dengan teks dan tafsir dari putusan yang sudah final and binding tersebut.
"Mahkamah Konstitusi didirikan sebagai penjaga tafsir terakhir konstitusi. Ketika tafsir seorang pejabat eksekutif melalui peraturan internal justru mengungguli atau mengoreksi substansi putusan MK, maka yang dilemahkan bukan sekadar hukum administratif, melainkan arsitektur konstitusi itu sendiri," ujarnya.
Abdullah Kelrey yang juga Komite Nasional Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI) tersebut menilai, bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 telah menempatkan MK dalam posisi subordinat secara struktural, bukan lagi sebagai final interpreter of the Constitution.
“Masalah utama Perpol 10/2025 bukan terletak pada teks normatifnya semata, tetapi pada preseden yang ia ciptakan: bahwa putusan MK dapat ‘diterjemahkan ulang’ oleh institusi yang justru menjadi objek pembatasan konstitusional," tandas Kelrey.
Maka ia pun menegaskan, ketika putusan MK dijadikan bahan legitimasi kebijakan internal, bukan batas kekuasaan, maka MK kehilangan fungsi korektifnya.
“Jika tafsir Kapolri melalui Perpol dianggap sah meskipun memperluas makna putusan MK, maka MK tidak lagi menjadi pagar, melainkan sekadar rambu yang bisa dibelokkan. Ini adalah bentuk pelemahan struktural halus, legal-formal, namun sangat berbahaya," tuturnya.
Dalam konteks ini, Abdullah Kelrey menggaris bawahi, bahwa Perpol 10 Nomor 2025 yang diterbitkan oleh Kapolri tidak sekadar menindaklanjuti putusan MK, melainkan mengambil alih kewenangan tafsir, sesuatu yang secara teori ketatanegaraan hanya dimiliki MK. Maka ia pun merasa patut ikut mengingatkan, bahwa pola kepatuhan administratif namun pembangkangan substantif telah terjadi di banyak negara.
”Di Hungaria, pemerintah secara formal mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi menerbitkan regulasi turunan yang secara materiil mengosongkan makna putusan tersebut. Uni Eropa menyebutnya sebagai constitutional hollowing konstitusi tetap ada, tetapi isinya dikuras," tukasnya.
Fenomena serupa juga terjadi di Polandia, ketika lembaga eksekutif menggunakan peraturan teknis untuk menunda, memodifikasi, atau membatasi dampak putusan pengadilan konstitusi, yang akhirnya memicu krisis konstitusional berkepanjangan.
“Ciri negara yang mulai masuk fase democratic backsliding bukanlah pembangkangan terang-terangan terhadap pengadilan, melainkan kepatuhan pura-pura yang diikuti manipulasi tafsir," tambahnya.
Bahaya Jangka Panjang: MK Lumpuh Tanpa Dibubarkan
Menurut Kelrey, Perpol 10/2025 berpotensi menciptakan doktrin berbahaya dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Karena bisa jadi saat ini Polri yang melakukan, maka di kemudian hari bisa jadi kementerian dan lembaga lain akan melakukan hal serupa seperti apa yang dilakukan oleh Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
"Jika setiap institusi boleh menafsirkan sendiri putusan MK sesuai kepentingannya, maka MK akan lumpuh tanpa perlu dibubarkan. Putusannya ada, tetapi tidak mengikat secara nyata," tegas Kelrey.
Ia menegaskan, bahwa kondisi ini lebih berbahaya dibanding pembangkangan terbuka. Maka dari itu, ia juga merasa perlu untuk mengajak semua pihak melakukan refleksi bahwa konstitusi tidak selalu runtuh oleh pelanggaran frontal, tetapi oleh kepatuhan semu yang sistematis.
"Di titik inilah negara hukum berubah menjadi negara prosedural tanpa substansi," paparnya.
Terakhir, Kelrey pun menekankan bahwa kritik terhadap Perpol 10/2025 jangan dianggap sebagai bentuk serangan terhadap institusi Polri, melainkan pembelaan terhadap supremasi konstitusi. Karena bagi dirinya, apa yang diutarakan tersebut bukan soal suka atau tidak suka kepada Kepolisian.
"Ini soal apakah Mahkamah Konstitusi masih menjadi otoritas tertinggi tafsir konstitusi, atau justru dikalahkan oleh tafsir administratif pejabat eksekutif. Jika tafsir Kapolri bisa mengungguli putusan MK hari ini, maka yang dikorbankan esok hari adalah prinsip negara hukum itu sendiri," pungkasnya.