HOLOPIS.COM, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritisi pasal 74 Undang-Undang TNI. Pasal itu dikritik karena membuat kemandekan dalam peradilan militer.
Demikian isu itu dibahas dalam diskusi publik bertajuk ‘Kekerasan Militer dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer’ di Tebet, Jakarta Selatan, pada Sabtu, kemarin. Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Hussein Ahmad menyinggung keradaan Pasal 74 UU TNI seperti mengunci Pasal 65 UU TNI yang mengatur anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
“Ketentuan tersebut dikunci melalui Pasal 74 UU TNI yang menunda keberlakuannya,” kata Hussein, dalam keterangannya dikutip pada Minggu, (14/12/2025).
Hussein mengatakan Imparsial yang tergabung dalam Koalisi Sipil sebagai pemohon sudah mengajukan menggugat Pasal 74 UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menekankan para pemohon minta MK menghapus pasal tersebut.
Menurut dia, jika pasal itu dihapus, maka setidaknya kemandekan dalam penanganan kasus dugaan pidana yang menjerat anggota TNI bisa menemukan titik terang. Ia mencontohkan kasus kematian Rico Sampurna Pasaribu yang diduga melibatkan anggota TNI.
“Dapat menemukan titik terang, khususnya terkait dugaan keterlibatan Koptu HB yang merupakan anggota militer aktif, agar dapat diadili di peradilan umum yang lebih terbuka,” tutur Hussein.
Lebih lanjut, Hussein menambahkan keberlakuan Pasal 74 UU TNI juga bertentangan dengan TAP MPR VII. Ia mengatakan demikian karena seperti dalam dugaan kasus korupsi Basarnas, ada seorang anggota TNI yang menduduki jabatan sipil justru enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui peradilan umum.
Bagi Hussein, peradilan militer seharusnya hanya berlaku untuk tindak pidana militer murni seperti desersi dan insubordinasi sesuai yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
“Jika anggota militer terlibat tindak pidana umum maka harus diadili dalam peradilan umum supaya tidak terjadi lagi ketidakadilan dalam peradilan militer,” tutur Hussein.
Mandeknya reformasi peradilan militer jadi sorotan koalisi sipil. Salah satu yang disorot yaitu keberadaan Pasal 74 UU TNI yang seperti mengunci penerapan Pasal 65 UU TNI, yang menegaskan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum untuk perkara pidana umum.
Dengan penundaan itu dinilai menyebabkan sistem peradilan militer punya kewenangan absolut atas seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI seperti pembunuhan, korupsi, atau kekerasan terhadap warga sipil.
Menurut koalisi sipil, kondisi itu menimbulkan impunitas dan pelanggaran terhadap prinsip equality before the law. Selain itu, melanggar Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kesamaan di hadapan hukum.



