Tongkonan: Simbol Budaya yang Terancam, Wisata Toraja Terguncang
HOLOPIS.COM, TANA TORAJA - Gelombang sengketa hukum di Toraja membawa ancaman nyata pada warisan budaya. Kasus paling menyedihkan adalah eksekusi dan pembongkaran terhadap sejumlah rumah adat, termasuk Tongkonan Ka’pun yang diperkirakan berusia sekitar 300 tahun di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, pada Jumat, 5 Desember 2025.
Peristiwa ini tidak hanya menyisakan puing-puing, tetapi juga mengguncang publik dan menimbulkan kekhawatiran serius akan hilangnya warisan budaya tak ternilai. Tongkonan, rumah adat tradisional suku Toraja yang terkenal dengan atapnya yang melengkung menyerupai perahu serta keindahan arsitekturnya, menyimpan nilai budaya, sosial, dan ekonomi yang fundamental bagi daerah yang mengandalkan sektor pariwisata.
Bagi masyarakat Toraja, Tongkonan jauh lebih dari sekadar rumah atau tempat tinggal, melainkan pusat segala aspek kehidupan, martabat, dan ikatan kekerabatan. Tongkonan berfungsi sebagai Pusat Kekeluargaan (Marga) atau rumah induk (tongkonan pe'bainean) yang menjadi identitas bagi satu kelompok keluarga besar atau rumpun.
Segala urusan sosial dan adat, mulai dari upacara adat, musyawarah, hingga pembagian warisan, berpusat di sini. Selain itu, setiap Tongkonan memiliki Identitas Budaya dan Sejarah yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga kehancuran satu Tongkonan berarti terputusnya rantai sejarah dan hilangnya identitas kolektif satu rumpun keluarga.
Sebagai Simbol Status, ornamen, ukiran, dan tanduk kerbau yang dipajang di fasadnya juga menunjukkan status sosial, kekayaan, dan besarnya upacara kematian (Rambu Solo') yang pernah diselenggarakan oleh keluarga pemilik.
Secara ekonomi dan pariwisata, Tongkonan adalah aset utama yang dijual Toraja ke mata dunia. Arsitektur uniknya yang disebut sebagai salah satu mahakarya arsitektur vernakular Indonesia menjadi magnet utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Keunikan arsitektur Tongkonan dengan bentuk atap melengkung menyerupai kapal dan hiasan ukiran bermotif geometris (Pa'sura') merupakan trade mark Toraja. Turis datang untuk mengagumi keunikan ini, menjadikannya latar belakang foto wajib dan objek studi kebudayaan.
Sebagai Destinasi Wisata, Tongkonan seringkali dikelilingi oleh lumbung padi (alang) dan pekuburan tebing yang menjadi bagian dari paket wisata budaya. Desa-desa adat seperti Kete Kesu atau Pallawa, yang seluruhnya tersusun dari Tongkonan, adalah destinasi paling populer.
Secara tidak langsung, pariwisata berbasis budaya ini menjadi Penyokong Ekonomi Lokal, di mana kehadiran Tongkonan menarik wisatawan, yang pada gilirannya menghidupkan sektor penginapan, kuliner, dan kerajinan tangan lokal.
Eksekusi yang meruntuhkan rumah adat ini menimbulkan dampak yang meluas, bahkan jauh melampaui kerugian material bangunan. Dampak utamanya adalah Krisis Identitas dan Kepedihan Kolektif. Tongkonan diibaratkan sebagai "jiwa kolektif" Toraja.
Pembongkaran, terutama yang dilakukan melalui proses hukum dan diwarnai bentrokan, melukai martabat dan menimbulkan trauma psikologis yang mendalam bagi keluarga dan masyarakat adat.
Di sektor pariwisata, terjadi ancaman terhadap pariwisata. Peristiwa ricuh dan hilangnya situs budaya penting dapat menimbulkan citra negatif di mata wisatawan. Jika konflik lahan terus merenggut warisan budaya, Toraja terancam kehilangan daya tarik utamanya sebagai destinasi budaya dan mengganggu roda penyokong ekonomi lokal yang telah berjalan.
Terakhir, masalah ini menyoroti dilema hukum positif melawan adat. Kasus penggusuran Tongkonan menunjukkan bagaimana hukum perdata (sengketa sertifikat) dapat bertentangan dengan hukum adat yang memandang tanah Tongkonan sebagai milik komunal yang tak dapat diperjualbelikan. Hal ini menciptakan preseden buruk dan kekhawatiran akan nasib Tongkonan-Tongkonan lain yang rawan sengketa.
Peristiwa penggusuran ini telah menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk segera mengambil langkah konkret yang dapat menghentikan praktik perusakan warisan budaya.
Para tokoh adat, aktivis, dan pemerhati budaya secara tegas menyerukan penetapan status Darurat Eksekusi Rumah Adat Toraja guna mencegah kerugian budaya yang lebih besar. Dalam upaya penyelamatan warisan leluhur ini, ada beberapa tuntutan kunci yang disuarakan.
Pertama, perlu adanya peninjauan ulang terhadap prosedur eksekusi yang secara langsung melibatkan situs dan bangunan budaya. Kedua, didesak adanya penguatan peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa tanah warisan, sehingga hukum adat memiliki ruang yang lebih besar dalam mediasi dan resolusi konflik.
Terakhir, yang tak kalah penting, adalah percepatan penetapan kebijakan perlindungan rumah adat dan situs budaya oleh pemerintah pusat. Langkah ini diperlukan untuk menciptakan payung hukum yang kuat, memastikan warisan berusia ratusan tahun ini tidak mudah hilang di bawah palu godam konflik, baik internal maupun hukum formal.