HOLOPIS.COM, JAKARTA – Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa terealisasi jika ekosistem layanan kesehatan—mulai dari tenaga medis, fasilitas kesehatan, hingga regulasi pendukung dibangun secara adil dan merata. Regulasi JKN jangan menyisakan celah diskriminasi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani yang menyoroti layanan Kesehatan tanpa hambatan, dalam rapat Panja JKN Bersama Dirjen SDM Kementerian Kesehatan. Menurut politikus PKS itu, JKN sebagai mandat konstitusi yang wajib menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan tanpa hambatan.
Maka itu, ia minta agar seluruh pemangku kepentingan memastikan tidak ada kebijakan yang justru mengorbankan akses masyarakat. “Keberlanjutan JKN ini adalah konstitusional. Setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan,” kata Netty, dalam keterangannya dikutip pada Minggu, (30/11/2025).
Netty mengkritisi ketidakseimbangan fokus layanan kesehatan yang terlalu berat dalam layanan rumah sakit dibanding layanan primer. Padahal, menurut dia, upaya promotif dan preventif adalah kunci menjaga ketahanan dana JKN dan menekan lonjakan biaya pengobatan.
“Kalau kita selalu mengeluhkan besar pasak daripada tiang, seharusnya kerja-kerja promotif dan preventif itu harus diperbesar. Dan, itu wilayah layanan primer,” ujarnya.

Pun, dia juga menyinggung kondisi puskesmas yang masih kekurangan tenaga dokter umum dan dokter gigi. Kondisi itu berdampak langsung terhadap kualitas dan pemerataan layanan kesehatan di daerah.
Lebih lanjut, dia mempertanyakan penanggung jawab dan strategi pemerintah atas persoalan yang terus berulang. “Kalau di puskesmas saja nggak ada dokternya, nggak ada dokter giginya. Ini pasti akan jadi antrian yang luar biasa. Ini tanggung jawab siapa?” jelas Anggota DPR dari daerah pemilihan Jabar VIII itu.
Terkait pelayanan BPJS Kesehatan, dia minta ada penjelasan mengenai antrean panjang layanan. Begitu juga dengan kemungkinan adanya pembatasan tindakan medis tertentu, termasuk kemoterapi, operasi katarak, hingga hemodialisis.
Netty mengingatkan pembatasan yang tidak berbasis indikasi klinis berpotensi membahayakan pasien. Bagi dia, jika bicara tentang indikasi klinis, maka mesti diserahkan pada dokter.
“Jangan sampai atas nama ketahanan dana BPJS kemudian ada yang dikurangi atau tidak dilakukan,” tuturnya.
Lalu, dia juga bicara soal rendahnya tarif pertolongan persalinan normal di fasilitas bidan mandiri yang hanya berkisar Rp800.000. Menurut dia, nominal itu tak sebanding dengan kontribusi bidan dalam menekan angka kematian ibu dan bayi.
“Jangan sampai perjuangan menyelamatkan kemanusiaan hanya dihargai Rp800 ribu. Ini harus diurai dan diperbaiki,” kata Netty.
Kemudian, ia juga minta agar pemerintah memastikan pemenuhan tenaga kesehatan secara merata. Pemenuhan itu termasuk dokter spesialis di daerah terpencil, tertinggal, dan kepulauan (DTPK). Menurutnya, selama ada ketimpangan distribusi SDM Kesehatan maka akan terus menjadi hambatan serius. Ia menekankan persoalan itu perlu diatasi dengan kebijakan yang jelas dan adil.
Netty pun mempertanyakan tindak lanjut hasil screening kesehatan yang sudah diikuti lebih dari 60 juta peserta JKN. Ia menuturkan screening hanya akan bermanfaat jika diikuti penanganan yang terukur.
“Setelah screening 60 juta peserta, berapa yang sudah ditindaklanjuti? Apakah ada anggaran khusus untuk follow up ini?” tutur Netty.



