Saling Sindir, Arifki Nilai PSI dan PDIP Sedang Bertarung di Jalur Sempit


Oleh : Muhammad Ibnu Idris

HOLOPIS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekitif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menilai perang wacana atau saling sindir antara politisi PSI, Ahmad Ali dan politisi PDIP, Muhamad Guntur Romli mencerminkan persaingan dua kekuatan politik yang sedang berebut ruang dalam jalur politik nasional yang makin sempit.

Hal ini menurutnya, bukan hanya soal perbedaan ideologi atau preferensi tokoh yang berbeda, akan tetapi soal siapa yang lebih dulu menguasai perhatian publik.

“Pertarungan wacana PSI–PDIP sekarang ibarat dua pengemudi yang masuk ke satu jalur sempit. Kedua partai ini tak bisa dipungkiri memiliki ceruk pemilih yang sama. Jika PSI saat ini punya icon Jokowi, PDI-P sudah sejak lama punya Megawati. Namun, sesuatu yang tak bisa dipungkiri adalah dulu Jokowi adalah kader PDI-P," kata Arifki dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, gesekan muncul bukan karena salah satu pihak berada di jalur yang keliru, tetapi karena ruang manuver yang direbut adalah ruang yang sama: ceruk pemilih nasionalis, pemilih muda, dan publik digital yang semakin menentukan arah politik nasional kedepannya. Apalagi saat ini, momentum partai-partai sedang merapikan struktur politiknya.

Pakar politik ini pun menambahkan, bahwa gaya komunikasi kedua partai semakin mempertegas metafora itu. PSI memainkan strategi akselerasi, serangan cepat, satir, dan memancing viralitas. PDIP yang sudah punya kelembagaan yang kuat dan tradisional, sekarang juga ikut bermain dengan narasi sama agar tidak dinilai pasif.

Direktur Eksekitif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago. [Foto : Istimewa]

“Di jalur sempit seperti itu, setiap manuver punya risiko. PSI sesekali menggeser ke kiri untuk menyalip narasi lama, sementara PDIP mencoba mempertahankan laju dengan ikut melakukan serangan balik. Ketika keduanya bergerak di ruang yang sama, benturan wacana hampir tak terhindarkan,” ujarnya.

Arifki menilai kondisi ini merupakan tanda bahwa peta politik Indonesia sedang mengalami demam perubahan. Jalur politik yang dulu lapang—dengan partai-partai besar menentukan arah—kini menyempit karena publik digital menjadi wasit baru. Momentum, bukan hanya mesin partai, mulai menentukan siapa yang berpengaruh.

“Ruang wacana kini dikendalikan oleh kecepatan respons dan kemampuan membangun simbol. Siapa yang terlambat, tersalip. Siapa yang terlalu cepat, bisa kehilangan kontrol. Karena itu duel PSI vs PDIP lebih dari sekadar saling sindir: ini kompetisi untuk memegang kemudi opini publik,” tutur Arifki.

Ia pun menegaskan bahwa ke depan, partai politik perlu memahami bahwa jalur politik tidak akan melebar. Justru akan makin padat, makin bising, dan makin kompetitif karena publik memiliki akses penuh untuk merespons setiap narasi.

“Pertarungan PSI dan PDIP ini bisa dibaca sebagai prolog dari dinamika yang lebih besar. Jika dua kendaraan saja sudah bersenggolan, bayangkan ketika lebih banyak aktor politik mulai masuk ke jalur yang sama. Kontestasi wacana akan menjadi medan utama menuju 2029,” tutupnya.

Tampilan Utama
/