HOLOPIS.COM, NTT – Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan budaya yang berlapis. Beragam etnis, dari Manggarai, Ngada, Ende, Lio, Sikka hingga Larantuka, hidup berdampingan bersama komunitas pendatang dari Sulawesi, Jawa, dan Lombok yang telah menetap lintas generasi.
Keanekaragaman inilah yang membentuk ruang sosial multikultural yang dinamis. Namun keberagaman yang tampak harmonis itu juga menyimpan potensi ketegangan, terutama ketika perubahan sosial berlangsung cepat.
Identitas budaya yang selama ini hidup berdampingan sering kali berhadapan dengan modernisasi, politik elektoral, dan perkembangan pariwisata yang pesat.
Pemetaan Konflik oleh Tim GSSD UI
Untuk memahami dinamika tersebut, Tim Pengabdian Masyarakat dari Graduate School of Sustainable Development (GSSD) Universitas Indonesia melakukan pemetaan konflik budaya di Manggarai Barat pada 16–22 November 2025.
Tim yang terdiri dari enam dosen yakni Dr. Shobichatul Aminah, Henny Saptatia D.N., Dr. Puspitasari, Dr. Lita Sari Barus, Dr. Riska Sri Handayani, dan Dr. Stanislaus Riyanta, beserta dua mahasiswa, menelusuri bagaimana keberagaman identitas dapat memunculkan gesekan sekaligus menjadi ruang negosiasi makna.

Sistem ini menjaga keseimbangan antarsuku melalui norma saling menghormati. Namun ketika pembangunan infrastruktur dan dinamika politik modern masuk, batas-batas adat ini sering kali bersinggungan secara tiba-tiba.
Dampak Pariwisata dan Ketimpangan SDM
Di Manggarai Barat, terutama setelah Labuan Bajo ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas, berbagai isu mulai mengemuka. Di antaranya perebutan ruang, sengketa batas tanah, dan kesenjangan kapasitas sumber daya manusia antara warga lokal dan pendatang yang masuk ke sektor pariwisata.
Ketua DPRD Manggarai Barat, Benediktus Nurdin, menilai masyarakat Manggarai Raya memiliki tradisi solidaritas tinggi berkat sejarah panjang percampuran etnis.



