Prof Hermawan Sulistyo : Polisi Itu Institusi Sipil, Non Kombatan


Oleh : Muhammad Ibnu Idris

HOLOPIS.COM, JAKARTA - Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Hermawan Sulistyo atau yang biasa disapa Prof Kikiek menyatakan bahwa putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 sangat aneh. Sebab, Polisi sebanarnya adalah institusi sipil, sehingga ia tidak dibatasi ruang geraknya di lingkungan sipil.

"Yang dilupakan adalah, Polisi itu statusnya sipil, ini orang lupa polisi itu bukan militer, bukan kombatan. Jadi kalau tidak boleh masuk ke sipil, lalu seperti apa," kata Prof Kikiek dalam sebuah talkshow di Kompas TV seperti dikutip, Minggu (16/11/2025).

Di samping itu, status pekerjaan di Kepolisian adalah ASN (Aparatus Sipil Negara). Bahkan tidak hanya di Indonesia, di negara-negara maju pun dikatakan Prof Kikiek memang seperti itu. Sehingga dengan demikian, semua anggota Polri di mana pun berada, mereka akan terikat secara langsung dengan hukum sipil, salah satunya adalah tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kalau kita lihat perbandingannya di negara-negara lain, negara demokrasi yang sudah majulah, polisi itu kan kalau di Indonesia statusnya ASN, dia tunduk pada hukum sipil. Kalau melanggar diadili oleh dengan KUHP, tidak ada perlakuan khusus, banyak orang belum tahu atau tidak tahu tentang persoalan ini," terangnya.

Karena berstatus non kombatan, maka seluruh anggota Polisi tunduk pada aturan sipil. Hal ini menurut Prof Kikiek jelas sangat berbeda dengan militer, yakni TNI. Mereka memiliki keistimewaan tersendiri di negara dengan aturan main hukum sendiri, yakni hukum kemiliteran. Sehingga jelas disparitasnya antara Polri dan TNI, di mana Polri akan patuh pada peradilan umum, sementara TNI akan patuh pada peradilan militer.

"Jadi yang harus dilihat adalah sipil itu bukan kombatan, non kombatan. Itu mengapa ini tidak perlaku pada TNI, karena TNI mendapat privilege bahwa dia tidak tunduk pada hukum sipil, (tapi) pada hukum militer. Ditangkap naik motor salah lampu merah aja tidak bisa ditangkap, gitu loh," tutur Prof Kikiek.

Oleh sebab itu, Prof Kikiek pun menyentil proses Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (judicial review) yang diajukan oleh dua orang, yakni Syamsul Jahidin, S.I.KOM., S.H., M.I.KOM., M.H.MIL berstatus Mahasiswa dan Advokat, serta Christian Adrianus Sihite, S.H yang berprofesi sebagai Mahasiswa.

"Ini aneh untuk saya, dua orang yang di dalam statusnya itu mahasiswa tapi gelarnya berderet-deret gitu ya dari NTB, menuntut ke MK, diladeni karena itu aturan hukumnya adalah hak konstitusional setiap warga negara. Kalau begitu saya punya uang banyak misalnya, saya bayar 1.000 orang mengaku mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk menuntut," ucapnya.

Ia juga merasa heran mengapa Mahkamah Konstitusi seperti membiarkan proses ini berjalan dengan mulus, di mana dalam pemahaman fundamentalnya pun salah kaprah. Institusi sipil dilarang untuk berada di ruang lingkup sipil.

"Dan bagaimana dua orang dengan tuntutan sumir seperti itu bisa membatalkan undang-undang, gitu loh," tukasnya.

Sekadar informasi Sobat Holopis, bahwa di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak terdapat langsung frasa non kombatan. Akan tetapi di dalam pasal-pasalnya, memberikan pandangan bahwa Polri dalam perannya memang non-kombatan.

Antara lain berada pada Pasal 2 UU Polri, di sana dijelaskan bahwa fungsi kepolisian sebagai fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas-tugas ini bersifat sipil dan yudikatif, berbeda dengan fungsi kombatan militer.

Kemudian di dalam pertimbangan atau konsiderannya, disebutkan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya pembangunan nasional, dan fungsi serta peran kepolisian diatur untuk tujuan tersebut, bukan untuk operasi militer.

Selain itu, UU ini juga mengukuhkan bahwa Polri sebagai lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan di bawah Kementerian Pertahanan atau Panglima TNI, yang semakin memperjelas kedudukan sipilnya. Serta seluruh aturan main hukumnya mengatur bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum, bukan peradilan militer, kecuali dalam keadaan tertentu sebelum undang-undang ini berlaku sepenuhnya.

Secara ringkas, UU Nomor 2 Tahun 2002 mendefinisikan Polri sebagai kekuatan sipil fungsional yang tugas utamanya berkaitan dengan ketertiban sipil dan penegakan hukum, yang secara inheren membedakannya dari peran kombatan militer yang diatur dalam undang-undang terpisah (UU tentang TNI).

Maka dari itu ketika ada putusan MK yang berkekuatan hukum final dan mengikat (final and binding), maka aturan main yang sudah ada wajib diubah, khususnya di dalam birokrasi yang ada di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

"Semua aturan yang terkait itu harus dibongkar dulu, ada aturan bahwa polisi boleh masuk dengan catatan yang minta itu birokrasinya. Jadi Menteri PAN RB minta lalu Kapolri memutuskan siapa orangnya, lalu mengirim, Itu aturan dulu yang harus diubah," tutur Prof Kikiek.

Tampilan Utama
/