HOLOPIS.COM, JAKARTA – Di era digital yang serba cepat ini, cara manusia berinteraksi dengan informasi berubah drastis. Kini, kita tidak lagi menunggu koran pagi, menonton berita di televisi, atau mendengarkan radio untuk mengetahui kabar terbaru.
Cukup membuka ponsel, menggulir layar ke atas atau ke bawah, dan seketika ribuan informasi datang menghampiri. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah scroll culture, atau budaya menggulir.
Scroll culture merujuk pada kebiasaan masyarakat modern, terutama generasi muda dalam mengonsumsi informasi dengan cara menggulir layar secara terus-menerus di media sosial.
Aktivitas ini tampak sederhana, namun menjadi simbol perubahan besar dalam perilaku komunikasi dan pencarian informasi di dunia digital. Platform seperti TikTok, Instagram, hingga X (Twitter) menjadi ruang utama di mana budaya ini berkembang pesat.
Fitur-fitur seperti reels, for your page (FYP), dan infinite scrolling membuat pengguna terus terdorong untuk melanjutkan guliran layar tanpa henti. Setiap kali jempol bergerak ke bawah, muncul konten baru yang berbeda mulai dari berita, hiburan, tren fashion, hingga video edukatif.
Mekanisme ini menciptakan sensasi “tidak pernah selesai,” di mana otak selalu penasaran dengan apa yang akan muncul selanjutnya.
Cara Baru Manusia Berkomunikasi
Scroll culture juga mencerminkan cara baru manusia berkomunikasi. Pesan yang disampaikan harus singkat, padat, dan menarik secara visual agar mampu bertahan di tengah derasnya arus konten digital.
Akibatnya, bentuk komunikasi pun mengalami penyederhanaan ekstrem: teks panjang jarang dibaca, sementara video berdurasi singkat atau infografis justru lebih disukai.
Generasi Z: Pelaku Utama Scroll Culture
Generasi Z, yang dikenal sebagai digital natives, menjadi pelaku utama budaya ini. Mereka lahir dan tumbuh bersama internet, sehingga aktivitas seperti multitasking, mencari informasi, dan berinteraksi sosial melalui layar sudah menjadi bagian alami dari kehidupan sehari-hari.



