Kisah Sultan Hadlirin: Etos Kerja Kuno, Tamparan Keras bagi Mental Instan Kaum Muda “FYP”


Oleh : Khoirudin Ainun Najib

HOLOPIS.COM, JEPARA - Fenomena generasi muda yang rentan mentalitas "cengeng," mudah menyerah, dan terlampau fokus pada ketenaran instan yang didikte oleh algoritma media sosial, terutama For You Page (FYP) TikTok telah menjadi isu sosial yang meresahkan.

Di tengah hiruk pikuk tren viral yang datang dan pergi, sebuah pelajaran berharga dari masa lalu menawarkan antidot yang kuat: kisah ketekunan, etos kerja, dan pengembaraan Sultan Hadlirin dari Jepara.

Sultan Hadlirin, yang memiliki nama muda Pangeran Toyyib atau Sayyid Abdurrahman Ar Rumi, bukanlah sosok yang meraih kekuasaan melalui jalan pintas. Beliau adalah seorang pangeran dari Kesultanan Aceh yang memilih jalur yang jauh dan berliku, dengan merantau dan menuntut ilmu.

Perjalanan spiritual dan intelektualnya melintasi berbagai negeri, dari Tanah Suci hingga Cina. Sebuah perjalanan yang membutuhkan daya tahan fisik, ketahanan mental, dan fokus jangka panjang, nilai-nilai yang kini tergerus oleh budaya serba cepat dan instan.

Merantau dan Mengukir Nasib, Bukan Sekadar Konten

Jika disandingkan dengan kondisi hari ini, Pangeran Toyyib tidak sedang "membuat konten" perjalanan untuk mencari viewers atau likes. Beliau secara harfiah mempertaruhkan nyawa dan masa mudanya demi pencapaian substansial.

Kedatangannya ke Jawa, dan kemudian menjadi suami Ratu Kalinyamat serta pemimpin Kasultanan Kalinyamat di Jepara, adalah hasil dari proses panjang penempaan diri, bukan sekadar popularitas sesaat.

Di sinilah letak relevansi kisah Sultan Hadlirin bagi motivasi kaum muda saat ini. Generasi muda yang terbiasa melihat keberhasilan orang lain seolah instan di linimasa perlu merenungkan kembali definisi "proses." Sultan Hadlirin mengajarkan bahwa sukses yang berkelanjutan dibangun di atas fondasi yang kokoh, bukan di atas pasir tren yang mudah ambruk.

Sang Arsitek Ukir, Menolak Cepat Kaya

Salah satu warisan paling monumental dari Sultan Hadlirin adalah perannya sebagai peletak dasar industri Jepara Ukir yang kini dikenal dunia. Bersama ayah angkatnya, Cie Hwie Gwan (Sungging Badar Duwung), beliau tidak hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga keterampilan seni ukir yang menjadi sumber kehidupan dan tulang punggung ekonomi Jepara selama berabad-abad.

Keahlian seni ukir membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan dedikasi bertahun-tahun, sebuah kontras ekstrem dengan keinginan untuk mendapatkan uang cepat atau menjadi viral dalam semalam. Sultan Hadlirin menunjukkan bahwa kemampuan (skill) yang diasah dengan serius akan menciptakan kekayaan yang lestari, bukan sekadar ketenaran fana.

Nilai etos kerja dan kemandirian inilah yang harus diresapi oleh generasi yang terobsesi pada scrolling tanpa batas. Menciptakan sebuah karya ukir yang rumit, sebagaimana yang terpatri di Masjid Mantingan peninggalannya, jauh lebih bernilai daripada ribuan video pendek tanpa makna.

Hal tersebut membuktikan bahwa berfokus pada kualitas dan mastery jauh lebih unggul daripada kuantitas dan kecepatan.

Menghadapi Tragedi dengan Kekuatan Mental Anti-Instan

Kisah Sultan Hadlirin juga mengajarkan ketahanan mental dalam menghadapi tantangan terberat. Walaupun beliau harus mengakhiri hidupnya secara tragis karena intrik politik istana Demak, warisan dan semangatnya tidak pernah mati. Kematiannya justru memicu keteguhan istrinya, Ratu Kalinyamat, yang kemudian menjadi pemimpin maritim tangguh.

Ketahanan mental Hadlirin yang ditempa dari merantau membuatnya sanggup memimpin di tengah gejolak politik. Hal ini sangat relevan bagi kaum muda yang kerap mengalami burnout atau tekanan mental akibat perbandingan hidup di media sosial.

Sultan Hadlirin mengajarkan bahwa masalah dan kegagalan adalah bagian dari proses kepemimpinan, dan mentalitas kuat adalah modal utama yang tak ternilai harganya.

Seorang pengamat sosial menekankan betapa pentingnya warisan budaya ini diserap oleh generasi sekarang. Beliau menyatakan bahwa kisah Sultan Hadlirin merupakan cetak biru tentang daya tahan dan warisan abadi.

Beliau datang sebagai pendatang, membangun Jepara dari nol dengan keahlian praktis, dan meninggalkan karya yang abadi, bukan sekadar popularitas sesaat.

Pengamat tersebut menambahkan bahwa generasi muda perlu memahami bahwa pencapaian sejati memerlukan waktu, keringat, dan penolakan terhadap godaan untuk menjadi anti-instan.

Pada akhirnya, cerita Sultan Hadlirin adalah panggilan keras bagi generasi yang "terlalu termakan FYP" untuk mengalihkan pandangan dari layar gawai dan mulai menggali potensi diri secara mendalam.

Mereka didorong untuk meninggalkan budaya instan, fokus pada pembangunan skill yang kokoh (seperti seni ukir Jepara yang mendunia), dan membangun etos kerja yang kuat.

Hanya dengan meniru semangat merantau dan mencipta karya abadi ala Sultan Hadlirin, motivasi kaum muda dapat diarahkan menuju kesejahteraan yang hakiki dan bukan sekadar views yang cepat memudar.

Tampilan Utama
/