HOLOPIS.COM, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengaku tak mau Amerika Serikat memiliki nasib serupa dengan negara-negara Eropa, sehingga ia menolak keras kebijakan migrasi terbuka.
Donald Trump pun baru saja melarang Dua belas negara yang warga negaranya dilarang memasuki Amerika Serikat termasuk Afghanistan, Myanmar, Chad, Kongo, Guinea, Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
“Kami tidak akan membiarkan apa yang terjadi di Eropa terjadi di Amerika,” kata Donald Trump, dikutip Holopis.com, Kamis (5/6).
BACA JUGA
- Korban Jiwa akibat Banjir Bandang di Texas Naik Jadi 109
- Haidar Alwi Serukan Perlawanan Bermartabat atas Tarif 32% Trump
- Trump dan Netanyahu Ketemuan Lagi, Bahas Gencatan Senjata Gaza yang Tak Juga Usai
- Elon Musk Bangun Partai Baru, Donald Trump Sedih
- Ini Isi Lengkap Surat Trump ke Prabowo Terkait Tarif 32%
Donald Trump menjelaskan, pembatasan paling ketat dipastikan pada negara yang menampung kehadiran teroris dalam skala besar.
Tak hanya melarang warga negara dari dua belas negara tertentu, ada juga beberapa negara yang dilarang masuk ke AS jika pelancong sebelumnya berkunjung ke sana, negara-negara tersebut adalah, Burundi, Kuba, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela
Sementara itu, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Abigail Jackson mengatakan bahwa ini adalah bentuk dari Presiden Donald Trump yang memenuhi janjinya untuk melindungi masyarakat Amerika Serikat.
“Presiden Trump memenuhi janjinya untuk melindungai warga Amerika dari aktor asing berbahaya, yang ingin datang ke negara kita dan menyakiti kita,” demikian disampaikan Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Abigaill.
Dijelaskan pula oleh Abigail bahwa ini adalah peraturan yang masuk akal, dan nama-nama negara-negara itu disimpulkan dari berbagai alasan, termasuk mereka yang memiliki tingkat perpanjangan visa yang tinggi, dan gagal memberikan informasi identitas.
“Pembatasan yang masuk akal ini bersifat khusus untuk setiap negara dan mencakup tempat-tempat yang tidak memiliki pemeriksaan yang tepat, memiliki tingkat perpanjangan visa yang tinggi, atau gagal membagikan informasi identitas dan ancaman,” pungkasnya.
