Polri Ngotot Kasus Pagar Laut Tak Ada Indikasi Korupsi, Begini Penjelasan Djuhandhani
JAKARTA - Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan bahwa pihaknya masih berkeyakinan bahwa tidak ada kerugian negara atas kasus pemagaran laut yang menyeret nama Aguan di kawasan perairan Tangerang, Banten.
Sejauh proses pemeriksaan dan penelitian tindak pidana yang dilakukan pihaknya, praktik yang terjadi adalah pemalsuan dokumen belaka yang kini menjerat Kepala Desa Kohod, Arsin bin Asip dan sejumlah temannya yang sama-sama sudah ditetapkan sebagia tersangka oleh penyidik Polri.
"Posisi kasus tersebut fakta yang dominan adalah terkait pemalsuan dokumen," kata Djuhandhani dalam keterangan persnya di kantor Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025) seperti dikutip Holopis.com.
Ia juga menyatakan bahwa penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, telah mempelajari dokumen petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun faktanya berdasarkan keterangan para ahli, di mana salah satunya adalah pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tidak diketahui adanya kerugian negara dalam perkara tersebut.
"Kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk P19 dari Kejaksaan," ujarnya.
Dalam diskusi dengan para ahli termasuk BPK RI, Djuhandhani juga menerima beberapa dokumen petunjuk lain terkait dengan pemahaman terhadap praktik tindak pidana korupsi. Pertama adalah berdasarkan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 dalam pertimbangan menyatakan bahwa tindak korupsi harus ada kerugian nyata, sehingga dapat konsekuensi hukum dan dihapusnya kata-kata "dapat" dalam frasa "dapat merugikan kerugian negara" di pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bagaimana berubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK RI atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kemudian dalil kedua adalah berdasarkan ketentuan pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana juga diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, bahwa secara eksplisit menyatakan ; yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar undang-undang tindak pidana korupsi atau melanggar Undang-undang lain yg secara tegas dinyatakan tindak pidana korupsi.
"Kemudian yang ketiga, terdapatnya indikasi pemberitaan suap atau gratifikasi kepada para penyelenggara negara saat ini dalam hal ini Kades Kohod, ini saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipikor Mabes Polri," jelas Djuhandhani.
Selanjutnya yang keempat, terhadap kejahatan atas kekayaan negara yang berupa pemagaran wilayah laut di desa Kohod, Djuhandhani mengatakan bahwa saat ini sedang dilaksanakan proses penyidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu.
"Dan sudah turun Spindiknya, yang saat ini sekarang berlangsung," sambungnya.
Terakhir, Djuhandhani juga menyatakan tengah memegang sebuah azas dalam norma hukum, yakni lex consumen derogat legi consumte. Azas ini menjelaskan bahwa aturan yang digunakan haruslah berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam sebuah perkara. Sehingga jika melihat dari posisi kasus pemagaran laut di perairan Tangerang Banten tersebut, fakta yang dominan menurut keyakinan Polri adalah terkait pemalsuan dokumen, bukan tindak pidana korupsi karena tidak ditemukan kerugian terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara.
"Sehingga penyidik berkeyakinan perkara tersebut adalah bukan merupakan tindak pidana korupsi karena kerugian yang ada saat ini yang didapatkan penyidik adalah kerugian oleh para nelayan dengan adanya pemagaran itu dan sebagainya," terang Djuhandhani.