JAKARTA – CEO Malaka Project, Ferry Irwandi menyoroti berbagai permasalahan di tubuh Kejaksaan RI, salah satunya terkait hak imunitas Jaksa yang tertuang dalam Pasal 8 Ayat 5 Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Dalam baleid tersebut, dinyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
“Jadi kalau lo mau melakukan proses hukum kepada jaksa dari perangkat hukum lain, misalnya KPK, proses pemanggilannya sampai penangkapannya itu hanya bisa dilakukan kalau Jaksa Agungnya ngasih izin,” ujar Ferry Irwandi dalam video yang diunggah di kanal YouTube pribadinya, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (29/1).
Baca juga :
- Kejagung Telusuri Indikasi Suap di Kasus Pagar Laut Tangerang
- Harvey Moeis Divonis 20 Tahun Penjara, Mahfud MD : Bravo Kejaksaan
- Torehkan Prestasi Lagi, Badan Pemulihan Aset Sukses Lelang Aset di Atas Nilai Limit
- Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP: Dua Contoh Buruk Kewenangan Berlebih Jaksa
- Kantor Ditjen Migas ESDM Digeledah, Kejagung Usut Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina
Artinya, jika seorang jaksa terlibat tindak pidana, maka penegakan hukumnya sangat bergantung pada keputusan Jaksa Agung. Hal ini, menurutnya, berisiko menciptakan ketimpangan hukum, di mana jaksa yang melanggar hukum bisa saja dilindungi oleh institusinya sendiri.
Mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Keuangan itu menegaskan, bahwa hak imunitas ini bukan sekadar perlindungan, tetapi bisa menjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan.
“Kalau dia yang nyelidiki oke, tapi kalau dia yang diselidiki? Dia yang bermasalah? Dia yang korup misalnya, apa mekanismenya?” tanya Ferry.
Saat ini, kata dia, belum ada aturan yang jelas mengenai mekanisme pengawasan jika seorang jaksa melanggar hukum. Ini tentu berpotensi menciptakan perlindungan berlebihan, di mana jaksa yang seharusnya dihukum justru kebal hukum.
Salah satu contoh nyata adalah kasus Kejari Batu Bara, di mana seorang jaksa kedapatan memeras terdakwa. Namun, alih-alih dihukum pidana, ia hanya dimutasi.
“Jangan sampai dengan adanya pasal ini, jaksa yang melakukan tindak pidana cukup dihukum dengan mutasi saja. Gak ada konsekuensi pidana dan lain sebagainya. Ini kan sinting juga gitu,” sindirnya.
Menurut Ferry, imunitas yang terlalu luas di lingkungan Kejaksaan ini bisa berbahaya bagi sistem hukum dan demokrasi Indonesia.
Jika kejaksaan tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat, lanjutnya, jaksa bisa kebal hukum, karena setiap proses hukum terhadap mereka harus mendapat izin dari Jaksa Agung.
Kemudian korupsi dan penyalahgunaan wewenang sulit ditindak, karena tidak ada sistem kontrol dari lembaga lain. Ferry Irwandi mengingatkan bahwa tanpa adanya check and balance, institusi seperti kejaksaan bisa menjadi terlalu kuat dan berbahaya.
“Tanpa adanya mekanisme ini, risiko terjadinya tirani, korupsi, dan berbagai masalah lain itu semakin membesar. Dan ketidakadilan akan meningkat, yang mana ini akan mengancam fondasi dasar dari sebuah negara yang demokratis,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap UU Kejaksaan, terutama Pasal 8 Ayat 5, agar jaksa yang terlibat tindak pidana bisa diproses hukum tanpa harus menunggu izin Jaksa Agung.
“Sebenarnya banyak sekali problematik yang lain Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah ya jelas ya revisi undang-undang kejaksaan gitu. Menurut gue, pasal-pasal itu perlu segera diperbaiki dan direvisi,” pungkasnya.