JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menganggap penerapan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah gagal.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra justru telah menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu dan membuat mereka justru tumbuh subur.
Sehingga, menurut Saldi, penerapan ambang batas atau presidential threshold hanya menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.
“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” kata Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan atas gugatan atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (2/1).
Dari kondisi Pemilu dan Pilpres yang telah berjalan selama periode, Saldi menilai minim pasangan capres sehingga malah kerap membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ucapnya.
Oleh karena itulah kemudian yang menurut Saldi, Mahkamah Konstitusi lebih menyetujuipasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu.
Saldi pun menyampaikan usai lima kali Pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan ambang batas sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.
“Terlebih terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” jelasnya.