JAKARTA – Faisal Basri ternyata pernah memberikan pesan terkait dampak besar yang akan ditimbulkan oleh tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, sebelum meninggal dunia pada Kamis (5/9) lalu.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh pendiri Celios, Media Wahyudi Askar. Dalam podcast Akbar Faizal, ia bercerita tentang pesan mendiang Faisal Basri, yang dikenal sebagai begawan ekonomi tanah air.
“Saya ingat sekali almarhum pak Faisal Basri sudah mengingatkan ini enam bulan lalu sebelum beliau meninggal,” kata Wahyudi, seperti dikutip Holopis.com, Senin (30/10).
Dikatakan Wahyudi, jika tarif PPN akan tetap naik menjadi 12 persen pada tahun 2025, maka negara akan mendapatkan keuntungan sekitar Rp50 triliun. Namun di sisi lain, kerugian negara dari dampak kenaikan tarif PPN tersebut jauh lebih besar.
“Kenaikan dari PPN itu mungkin hanya sekitar Rp50-an triliun pendapatan yang bisa didapatkan negara, tapi kerugian yang didapatkan oleh negara jauh lebih besar dari pada itu,” bebernya.
Tidak berhenti di situ, Wahyudi juga membeberkan berbagai risiko yang akan timbul akibat kenaikan PPN tersebut, seperti pertumbuhan ekonomi yang hanya akan berkutat di bawah 5 persen, hingga jumlah pengangguran yang bertambah.
“Resiko yang beneran kami hitung pake input output, surplus usaha itu hilang sekitar Rp41 triliun, pertumbuhan ekonomi hanya akan ada di 4,09 (persen), pengangguran sekitar 554 ribu orang bertambah tahun depan,” ungkapnya.
Menurutnya, ada banyak risiko-risiko lainnya yang sudah diperhitungkan oleh pihaknya di Celios mengenai risiko dari kenaikan tarif PPN, yang dinilai tidak setimpal dengan pendapatan yang diperoleh negara.
Untuk itu, ia menegaskan, bahwa diantara tiga komponen pajak, bagian pajak konsumsi yang menjadi paling mengalami kemunduran.
“Dari tiga komponen pajak, pajak konsumsi, penghasilan, dan capital income, yang paling regresif itu pajak konsumsi,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai awal Januari 2025. Kebijakan kenaikan PPN tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Hal itu merupakan kesepakatan Pemerintah bersama DPR berupa kenaikan tarif secara bertahap, agar tida mendadak dan kelewat besar yang akan berdampak pada daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan berbagai negara di dunia, termasuk negara-negara berkembang dan anggota G20.
“PPN di Indonesia dibandingkan berbagai negara di dunia masih relatif rendah. Kalau dilihat, baik di negara-negara emerging atau dengan negara region, dan atau negara G20,” ujar Sri Mulyani.