JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk menaikkan PPN 12 persen menjadi catatan tersendiri oleh politisi PDIP sekaligus mantan Capres 2024, Ganjar Pranowo. Menurutnya, kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai tersebut bisa jadi memiliki niat yang baik, hanya saja dijalankan di waktu yang salah.
“Tentu ada niat baik di dalam kebijakan ini (kenaikan PPN 12%), namun ia mungkin datang pada saat yang salah,” kata Ganjar Pranowo dalam video yang diunggah di akun Youtube pribadinya seperti dikutip Holopis.com, Kamis (19/12).
Menurutnya, stimulus ekonomi yang hendak dijalankan pemerintahan Kabinet Merah Putih terhadap kenaikan PPN 12% tersebut tetap akan berdampak langsung terhadap masyarakat kecil dan kaum rentan.
“Di atas kertas, kebijakan ini akan meningkatkan pendapatan di negara, tapi di lapangan, kebijakan ini akan memaksa rakyat mengurangi konsumsi, mengirbankan tabungan, atau terjerat utang,” ujarnya.
Ganjar Pranowo menyampaikan bahwa suara ini disampaikan agar pemerintah menelaah lagi apakah benar-benar sudah menjalankan azas keadilan atau tidak. Atau benarkah kebijakan menaikkah PPN 12 persen adalah obat bagi memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat kecil menengah atau tidak.
“Saya khawatir bahwa kenaikan PPN 12% yang dimaksud sebagai obat justru menyebabkan sejumlah komplikasi,” tuturnya.
Komplikasi pertama yang disampaikan Ganjar adalah, kenaikan PPN 12 persen yang hendak dijalankan oleh para pemangku kebijakan di waktu yang tidak tepat. Di mana menurutnya, kenaikan tersebut dilakukan di saat kondisi ekonomi rakyat sedang berada di ambang batas bawah.
“Diakui atau tidak, kenaikan PPN 12% datang pada saat yang salah, ketika ekonomi kita sedang melemah,” terang Ganjar.
Ia mengatakan bahwa kondisi saat ini akan membuat deindustrialisasi dini yang akhirnya menghantam fondasi ekonomi nasional. Ditambah lagi kondisi untuk sektor manufaktir terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalai penurunan dari 23,56% pada tahun 2014 menjadi 19,28% di tahun 2024.
Situasi tersebut menurut Ganjar membuat banyak pabrik mengalami gulung tikar, banyak sektor produktif tidak lagi menggeliat berkembang hingga banyaknya PHK (pemutusan hubungan kerja) di berbagai perusahaan.
Dalam kondisi tersebut, Ganjar menerangkan bahwa sektor ekonomi akan mengalami situasi yang sangat buruk dan berdampak domino. Di mana pabrik banyak tutup, kemudian mesin produksi tidak berjalan, hubungan industrial terganggu karena adanya PHK secara masif, serta daya beli masyarakat mengalami penurunan yang cukup signifikan.
“Ini pertanda sangat jelas bahwa sektor produktif kita yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi sedang melemah,” paparnya.
Oleh sebab itu, ketika PPN 12% tetap dipaksakan dijalankan oleh pemerintah dalam kondisi ekonomi yang masih melemah seperti saat ini, ia khawatir akan memicu ledakan konflik di kalangan masyarakat.
“Harga-harga naik, konsumsi berkurang, dan roda ekonomi berputar makin melambat,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ganjar Pranowo mengatakan bahwa dalam kondisi ekonomi saat ini penyerapan tenaga kerja formal makin menurun drastis. Situasi ini akhirnya memicu penyerapan kerja informal yang memiliki ketidakpastian tinggi bagi dunia kerja.
Dijelaskan Ganjar, pada tahun 2009-2014, penyerapan tenaga kerja formal mencapai 15,6 juta. Sementara di tahun 2014-2019 hanya 8,5 juta. Sayangnya, untuk satu periode kepemimpinan lalu yakni 2019-2024 serapan tenaga kerja formal hanya 2 juta saja.
“Ledakan sektor informal hanyalah isyarat bahwa ekonomi sebuah negara sedang memburuk,” tukasnya.
Bagi Ganjar Pranowo, kelang menengah merupakan tulang punggung penggerak ekonomi. Sebab kelas ini adalah mereka yang menjadi konsumen dan penabung. Mereka bisa membantu menopang siklus ekonomi nasional tetap stabil. Namun ketika kelas menengah semakin menurun angkanya, di situlah ancaman badai kehidupan akan mulai terganggu.
Kemudian Ganjar pun mencuplik sebuah data statistik bahwa pada tahun 2019 kalangan menengah ini mencapai 57,33 juta orang. Sementara pada tahun 2024 tercatat kelas menengah hanya 47,17 juta orang. Penurunan angka masyarakat kelas menengah ini bukan beralih ke kelas atas, melainkan ke kelas bawah.
“Mereka yang dulunya mampu membelikan buku untuk anak-anak mereka, kini harus memilih antara makan atau membayar cicilan,” tutur Ganjar.
Jika situasi ini dibiarkan, maka yang terjadi menurut Ganjar adalah ketimpangan sosial yang berimplikasi pada keresahan masyarakat dan potensi instabilitas nasional.
Ganjar Pranowo juga menyuplik data dari Bank Indonesia (BI) yang mencatat penurunan nilai tabungan kelas menengah. Data pada tahun 2023 besaran tabungan rumah tangga hanya 6,3% atau sekira Rp4,28 juta per nomor rekening dalam data average.
Di samping itu, tingkat konsumsi rakyat juga meningkat mencapai 74,5% dari pendapatan mereka. Jika membaca data tersebut, Ganjar berpendapat bahwa rakyat Indonesia saat ini sebenarnya lebih banyak menguras tabungan mereka untuk kebutuhan konsumtif.
“Rakyat kita sudah menguras tabungan untuk bertahan hidup, tidak ada lagi ruang untuk keperluan darurat atau investasi kecil-kecilan,” terang Ganjar Pranowo.
Dengan demikian, Ganjar Pranowo berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memikirkan kembali kebijakan untuk menaikkan PPN 12% tersebut. Sebab dampak dominonya akan sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sumber pendapatan utama negara adalah dari sektor perpajakan. Dengan pajak tersebut, negara mampu membiayai semua bentuk pelayanan masyarakat baik pelayanan administratif, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Namun sebagai catatan, ia mengatakan pajak negara harus dikelola sebaik mungkin agar tidak memicu keterpurukan yang tidak berkelanjutan. Di tambah lagi menerapkan kebijakan kenaikan PPN 12 di situasi ekonomi saat ini juga dianggapnya kurang bijak.
“Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita bukan saja kehilangan pekerjaan, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan rakyat kepada negara bahwa negara hadir melindungi mereka,” tegas Ganjar.
Bagi Ganjar Pranowo, menaikkan PPN 12 % bisa dianggap menjadi solusi untuk meningkatkan penerimaan pajak negara secara instan, hanya saja ia menilai solusi itu malah memicu masalah lain yakni mengorbankan pendapatan dan ekonomi rakyat secara masif.
Ketimbang menaikkan PPN 12 persen tersebut, mantan Gubernur Jawa Tengah ini pun menyarankan agar negara mencari sumber pendapatan lain yang lebih realistis tanpa mengorbankan rakyatnya sendiri.
“Terhadap pajak kekayaan yang menarget mereka yang memiliki aset besar, bisa menghasilkan kurang lebih Rp81,6 triliun,” tuturnya.
Jika pemerintah mau melakukan hal itu, ia yakin negara akan mampu mengurangi ketimpangan tanpa membebani kelompok miskin.
Solusi selanjutnya adalah Windfall Tax. Yakni sebuah kebijakan fiskal yang diterapkan oleh suatu negara terhadap industri dengan komoditas tertentu. Salah satunya adalah sektor tambang dan kelapa sawit yang diperhitungkan dapat meningkatkan pendapatan negara hingga Rp300 Triliun.
Lalu ada juga pajak karbon. Menurut Ganjar, penerimaan pajak karbon ini juga tidak hanya sekadar mendapatangkan pendapatan bagi penerimaan pajak negara, akan tetapi dapat juga menyelamatkan ekosisten lingkungan hidup.
“Kebijakan-kebijakan ini disamping meningkatkan penerimaan negara, juga memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” papar Ganjar Pranowo.
Indonesia akan jadi tuan rumah Grup B Babak Kualifikasi AFC Women's Futsal Asian Cup 2025…
JAKARTA - Dunia hiburan Indonesia saat ini sedang digegerkan dengan isu Hamish Daud yang diduga…
Ribuan personel gabungan akan disiagakan untuk melakukan pengamanan puncak perayaan Natal Nasional 2024, yang dijadwalkan…
JAKARTA - Direktur eksekutif Political Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai bahwa seharusnya KPK…
Polri mengungkap data perjalanan keluar Jakarta pada saat libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru)…
Resep kuliner kali ini ada pisang goreng pasir keju lumer, yang tentunya lezat dan nikmat.…