JAKARTA – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid menilai
bahwa ada dua faktor besar mengapa pasangan Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi kalah dalam Pilkada Jawa Tengah 2024.
Dua faktor ini sebenarnya bisa dianggap kunci mengapa pasangan Cagub Cawagub nomor urut 1 di Pilkada 2024 Jateng tersebut malah kalah di zona yang disebut-sebut kandang banteng.
“Ini kompetisi, namanya kompetisi kan ada kalah dan ada menang. Tapi kalau mau dilihat, faktornya apa bisa menang, dan apa faktornya menang,” kata Habib Syakur kepada Holopis.com, Minggu (1/12).
Setidaknya, ada dua faktor penting menurutnya mengapa pasangan Cagub-Cawagub tersebut kalah dalam kompetisi Pilkada. Pertama adalah karena faktor Andika Perkasa yang sebenarnya kurang mengakar di Jawa Tengah.
“Memang beliau Panglima TNI, tapi ada aspek yang bisa jadi barometer mengapa beliau kalah dalam kompetisi di Jawa Tengah, karena sosoknya tidak mengakar, beliau kan terkesan elitis dengan stylenya,” ujarnya.
Hingga akhirnya sekalipun disokong oleh calon yang merupakan mantan Walikota Semarang, yakni Hendrar Prihadi, jelas tidak akan terlalu mendompleng.
“Saya lihat banyak kegiatan blusukan Pak Andika tidak bisa berkamuflase dengan rakyat. Datang ke acara-acara dengan kendaraan rantis, menunjukkan beliau elitis dan militeristik,” sambungnya.
Faktor kedua adalah sikap egosi PDIP sebagai partai yang pernah menguasai Jawa Tengah 2 (dua) periode. Bahkan basis PDIP di Jawa Tengah menjadi yang terbesar ketimbang partai lain, termasuk Golkar.
Ketika PDIP maju sendiri dengan tanpa dukungan Partai Politik, ditambah dengan basis kekuatan PDIP yang dinilainya pecah pasca berseteru dengan Joko Widodo. Setidaknya menurut Habib Syakur, 9 dari 10 kekuatan PDIP rentan.
“Jawa Tengah memang kandang Banteng, tapi kalau harus berhadapan dengan 9 partai, tampaknya sangat sulit ya. Apalagi kans Pak Jokowi ini masih besar lho. Bahkan setengah lebih alasan Pak Jokowi menang pun bukan karena PDIP, tapi karena persona dan citranya sebagai wong ndeso, related dengan masyarakat,” tuturnya.
Saat ditanya tentang tudingan PDIP ada kecurangan di Pilkada 2024, termasuk narasi Partai Cokelat dan manuver Jokowi. Habib Syakur memiliki pandangannya sendiri. Menurutnya, narasi semacam itu merupakan reaksi semata atas kemarahan PDIP yang tidak terima kalah. Termasuk membuat narasi seolah Kepolisian melakukan manuver untuk memenangkan calon tertentu.
“Namanya orang kalah, ya marah, kecewa. Eh, saya sudah keluar duit banyak, bikin acara, tebar sembako dan sebagainya, tapi kalah. Marah, ya wajah,” ujarnya.
“Narasi Partai Cokelat ini berbahaya. Apalagi jika tidak bisa dibuktikan bisa merusak citra Polri. Walaupun Parcok yang disebut PDIP tak disebutkan mereka sebagai institusi apa ya,” sambungnya.
Maka ketika sebuah kemarahan yang dilakukan dengan menebar fitnah dan narasi negatif oleh PDIP kepada pihak lain tentu jelas tidak bisa ia benarkan. Jika pun ada kecurangan, maka jalur yang tepat sebaiknya ditempuh ketimbang tebar hoaks dan narasi hitam.
“Kan sudah ada ranahnya, kalau memang ada aparat bermain, silakan laporkan ke Gakkumdu, ada juga Propam, silakan tempuh. Atau kalau tidak silakan gugat ke MK kan. Kalau fitnah sana sini kok ya nggak baik untuk pendidikan politik masyarakat kita sih,” tutur Habib Syakur.
Lantas soal manuver Jokowi di Pilkada dengan mendukung pasangan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen, menurut Habib Syakur hal itu wajar dan sah-sah saja. Dengan peran Jokowi ikut turun dan mengendorse paslon tertentu dan akhirnya menang, justru menunjukkan marwah dan pengaruh Jokowi memang besar ketimbang PDIP.
“Kalau memang Jateng kandang Banteng, kenapa kalah ketika Jokowi tampil. Kan bisa saja diartikan Jokowi lebih bertaji di Jawa Tengah ketimbang PDIP, bahkan ketimbang Megawati sekalipun,” tandasnya.
Lebih lanjut, Habib Syakur juga mengatakan bahwa sikap berbeda Jokowi dengan PDIP dalam kontestasi Pilkada 2024 bukan berarti Jokowi berkhianat dari PDIP. Sebab sejak awal, PDIP yang memberikan sikap tidak baik kepada Jokowi yang merupakan kader terbaiknya itu.
“Seingat saya, Pak Jokowi kan mau endorse Mas Ganjar, tapi mas Ganjar main sendiri dengan PDIP tanpa sowan baik-baik ke Jokowi. Di Musra, Pak Jokowi masih bilang calon Presiden rambutnya putih. Sayangnya, Pak Jokowi tak dihargai PDIP dan Ganjar, ya kalau Pak Jokowi punya sikap berbeda pada akhirnya, mosok disalahkan,” tukasnya.
Dengan demikian, ia pun mengatakan bahwa kekalahan PDIP dalam Pilkada Jawa Tengah bukan bukan karena kecurangan. Ia yakin semua itu karena faktor strategi PDIP yang dinilainya salah sejak awal.
“Kalau kalah ya kalah saja. Akui bahwa strategi mereka salah, hitung-hitungan Hasto salah telak, dan fatalnya Bu Megawati iya-iya aja sama Hasto. Yowes rasakan, nerimo wae (terima saja),” pungkasnya.
JAKARTA - Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD merasa heran dengan vonis hukuman yang dijatuhkan majelis…
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo menyoroti perihal bantuan sosial (bansos) yang dalam beberapa tahun…
Kiper utama Bayern Munchen Manuel Neuer bermaksud baik dengan mengunggah pohon natal pada Hari Raya…
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo meminta umat untuk mengikuti keputusan yang diambil oleh pemerintah,…
JAKARTA - Pendiri Haidar Alwi Institute, R Haidar Alwi menyampaikan apresiasi kepada Kapolri Jenderal Polisi…
Manchester City saat ini menatap hari raya Natal paling buruk selama ditunggangi sang manajer Pep…