Di era modern, masalah lingkungan semakin menjadi sorotan, khususnya dampak buruk penggunaan plastik yang meluas dan menciptakan eksternalitas negatif bagi masyarakat. Plastik memiliki sifat sukar terurai secara alami menjadi ancaman besar bagi ekosistem karena terbuat dari bahan dasar minyak mentah yang dicampur dengan zat aditif menghasilkan polymer.
Selain itu, kemudahan penggunaan kemasan plastik menjadikannya pilihan praktis, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, Indonesia pada tahun 2020 menempati peringkat kelima sebagai penghasil sampah terbesar di dunia, dengan total 65,2 juta ton (World Bank, 2020).
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN, 2024) menunjukkan bahwa sampah plastik menyumbang 19,19% dari total sampah nasional sebesar 38 juta ton. Sayangnya, sekitar 38,38% atau 14 juta ton sampah tersebut tidak terkelola dengan baik, mencemari daratan dan lautan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan bahwa jika masalah ini tidak segera diatasi, pada tahun 2040 jumlah plastik di lautan Indonesia akan melebihi jumlah ikan. Sampah plastik yang terpecah menjadi mikroplastik (ukuran 0,3–5 milimeter) sering dikira plankton oleh hewan laut. Hal ini menyebabkan risiko besar bagi ekosistem laut dan kesehatan manusia. Melihat dampak serius ini, kebijakan fiskal mulai diarahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Hingga 31 Oktober 2024, penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai telah mencapai Rp231,7 triliun atau 72,2% dari target yang ditetapkan (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, November 2024). Salah satu langkah mengurangi eksternalitas negatif penggunaan plastik dengan pengenaan cukai plastik yang dirancang untuk mengendalikan konsumsi plastik sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Upaya ini mulai dirancang sejak 2016 dengan target penerimaan sebesar Rp1 miliar dalam APBN 2017. Kemudian kebijakan tersebut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi XI pada 2019.
Meski penerapan awalnya direncanakan pada 2020 namun tertunda karena dampak krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, kebijakan ini terus menjadi agenda penting sampai saat ini masuk ke dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 dalam optimalisasi di kepabeanan dan cukai termasuk pada produk plastik sebagai bahan pengemas atau produk sekali pakai yang menjadi penyumbang utama sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Dalam kuliah umum di PKN STAN, disampaikan oleh Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Iyan Rubianto, terdapat 4 jenis produk plastik dirancang untuk Barang Kena Cukai yakni kantong plastik, kemasan plastik multilayer, styrofoam, dan sedotan plastik, apabila tahun depan memang diterapkan. Dengan menerapkan kebijakan ini, pemerintah bertujuan dapat mengendalikan konsumsi plastik dan mendorong industri memproduksi produk yang lebih ramah lingkungan.
Dalam KEM-PPKF 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan fokus utama dalam keseimbanan ekologi dan ekonomi, salah satunya ialah terdapat pembangunan fasilitas Tempat Penampungan Sementara (TPS) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan, ekonomi dan daya beli masyarakat, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pengelolaan sampah plastik yang lebih baik, serta melindungi ekosistem dan kesehatan manusia.
Meski berpotensi membawa manfaat besar, kebijakan cukai plastik menghadapi tantangan dari berbagai perspektif. Dari sisi industri, Kementerian Perindustrian dan pengusaha khawatir kebijakan ini akan meningkatkan biaya produksi, harga jual, dan berujung pada inflasi atau pengangguran. Saat ini, kebutuhan biji plastik dalam negeri masih melalui impor karena produksi lokal belum mencukupi maka apabila terdapat pengenaan cukai plastik berisiko meningkatkan biaya produksi dan harga jual produk. Hal ini juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada keseimbangan antara pengendalian konsumsi plastik, perlindungan daya beli masyarakat, serta keberlanjutan ekosistem
Namun, Kementerian Keuangan berpendapat bahwa cukai plastik dapat menjadi sumber pendapatan baru sekaligus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Sebagian dana yang diperoleh dari cukai plastik dapat dialokasikan untuk mendukung pengembangan produk ramah lingkungan dan pengelolaan sampah. Kebijakan ini dapat berkaca dengan cukai alkohol atau tembakau, sebagaimana diatur dalam Pasal 66A UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, di mana dana 2% dialokasikan untuk penghasil cukai hasil tembakau, sisanya dialokasikan untuk provinsi penghasil, kabupaten / kota daerah penghasil, dan kabupaten / kota lainnya. Sehingga penting untuk meyakinkan industri dan kementerian terkait bahwa tujuan pengenaan cukai plastik bukan untuk menghentikan usaha, melainkan untuk mengendalikan konsumsi plastik dan mendorong industri memproduksi produk yang lebih ramah lingkungan.
Sebagian dana yang diperoleh dari cukai plastik dapat dialokasikan untuk mendukung pengembangan produk ramah lingkungan dan pengelolaan sampah plastik yang lebih baik. Dari sisi konsumen, cukai plastik berpotensi meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli. Maka, desain kebijakan harus mempertimbangkan jenis produk plastik yang akan dikenakan cukai, tarif yang sesuai, mekanisme pemungutan yang sederhana, serta dampaknya terhadap daya beli masyarakat.
Kebijakan cukai plastik diharapkan menjadi solusi yang tidak hanya mengurangi pencemaran lingkungan, tetapi juga mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat dan industri untuk beralih pada alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan yang diperoleh dari cukai ini dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan sampah yang lebih baik dan pengembangan produk yang lebih berkelanjutan. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada keseimbangan antara pengendalian konsumsi plastik, perlindungan daya beli masyarakat, serta keberlanjutan ekosistem.