JAKARTA – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) Gurun Arisastra turut angkat bicara perihal wacana penarikan atau penerapan pajak untuk Kantin sekolah.
Menurutnya, wacana itu berlebihan dan jika diterapkan akan berpotensi menyengsarakan rakyat kecil yang memiliki usaha mikro tersebut.
“Nggak ada kerjaan DPRD DKI Jakarta, sampai-sampai kantin sekolah yang merupakan pelaku usaha kecil mau dikenakan pajak. Ini berlebihan, bagi kami ini rencana sengsarakan rakyat kecil,” kata Gurun Arisastra kepada Holopis.com, Minggu (24/11).
Menurutnya, jika dilakukan penarikan pajak untuk kantin sekolah akan terjadi efek domino di masyarakat. Pertama, efek domino secara ekonomi yakni terjadinya kenaikan harga penjualan makanan atau minuman kepada siswa, sehingga daya beli siswa menurun.
Lalu kedua, berdampak pada pertumbuhan gizi siswa, karena bisa saja ada siswa-siswi yang pada akhirnya tidak mampu membeli makanan atau minuman yang dijual di kantin sekolah mereka.
“Yang benar aja, pelaku UMKM kategori usaha kecil begini masih dikenakan pajak, dampaknya akan terasa karena harga jual makanan minuman akan naik, daya beli menurun. Ingat, tidak semua yang ada di sekolah orang tua siswanya kategori mampu,” tegasnya.
Di sisi lain menurut Gurun, wacana DPRD DKI menerapkan pajak untuk kantin sekolah dapat mengganggu cita-cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam upaya peningkatan gizi anak sekolah.
“Lalu ini wacana tidak sejalan dengan misi Pemerintahan Prabowo Gibran, di saat pemerintah ingin menerapkan makan gratis terhadap siswa sekolah sebagai upaya peningkatan gizi anak, justru DPRD menerapkan pajak terhadap kantin sekolah, artinya wacana DPRD DKI Jakarta berseberangan dengan pemerintah pusat,” tukasnya.
Gurun mengatakan DPRD DKI Jakarta lebih punya martabat membahas penyelesaian 80 ribu pelajar main judi online dan maraknya prostitusi online di kalangan anak-anak, dibanding harus membahas upaya penerapan pajak untuk kantin sekolah. Sebab, dua persoalan tersebut sudah menjadi momok tersendiri di kalangan pelajar Indonesia, tak terkecuali di wilayah Jakarta.
“Berdasarkan data PPATK, 80 ribu pelajar main judi online dan maraknya prostitusi online yang melibatkan anak-anak. Diskusi dan mencari solusi masalah ini lebih bermartabat dibanding wacana penerapan pajak kantin sekolah,” tuturnya.
Pajak Retribusi
Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa Pemerintah Daerah DKI Jakarta akan mengenakan retribusi kepada pengelola kantin di sekolahan. Wacana mengemuka setelah Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Sutikno mengatakan, bahwa keberadaan kantin sekolah di sebuah sekolah yang menerapkan tarif sewa lapak sebesar Rp5juta per tahun.
“Kantin di SMA 32 di daerah Cipulir, ada sekitar 14 kantin. Tetapi setiap tahunnya membayar Rp5 juta, berarti sudah Rp70 juta di satu sekolah,” kata Sutikno seperti dikutip dari keterangan resminya, Selasa (19/11).
Oleh karena itu, ia meminta Dinas Pendidikan (Disdik) mendata seluruh kantin yang terdapat di dalam sekolah. Karena menurut dia, untuk menggali potensi pendapatan daerah dari retribusi membutuhkan kejelian SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
“Sekolah didata kantinnya. Ini bisa menjadi pemasukan retribusi. Harus teliti, harus jeli ada potensi uang masuk,” ucap Sutikno.