JAKARTA – Ekonom Gunawan Benjamin menilai pemerintah perlu menunda pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen pada tahun 2025 mendatang.

Sebab menurutnya, kenaikan PPN dari yang semula 11 persen tidak tepat di tengah penurunan daya beli masyarakat.

“Rencana menaikkan PPN menjadi 12 persen di Januari 2025 kontradiktif dengan kondisi daya beli masyarakat yang saat ini tengah melemah,” ujar Gunawan dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Jumat (22/11).

Dia mengaku tak masalah jika penerapan PPN 12 persen menjadi jurus pemerintah dalam menjaga kesehatan APBN, seiring dengan penambahan pengeluaran pemerintah, mulai pembangunan IKN hingga target swasembada pangan.

Namun menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memicu terjadinya kenaikan harga kebutuhan masyarakat dan mendorong terciptanya inflasi lebih tinggi. Daya beli masyarakat akan mengalami tekanan, di mana kelas menengah yang akan menjadi korbannya.

“Sementara masyarakat kelas bawah atau yang termasuk dalam golongan miskin, masih akan mampu diselamatkan karena pemerintah punya kebijakan perlindungan sosial yang diwacanakan anggarannya juga dinaikkan di tahun depan,” kata Gunawan.

Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen ini, menurut Gunawan, sebaiknya dipikirkan matang-matang. Selain karena memang akan memberikan tekanan daya beli masyarakat, kebijakan tersebut sangat potensial menekan laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusi belanja rumah tangga berpeluang menyusut dengan kenaikan PPN tersebut.

“Selain inflasi yang ditimbulkan dari kenaikan PPN, di semester I-2025 kita juga berpeluang menghadapi tekanan inflasi tinggi dari sejumlah komoditas pangan strategis. Yang dipicu oleh melemahnya kemampuan petani seiring dengan terpuruknya harga jual produk pangan hortikultura yang tercermin dari deflasi sebelumnya,” kata Gunawan.

Kemudian saat ini negara-negara di dunia juga tengah mewaspadai kebijakan Presiden terpilih AS Donald Trump di Januari 2025. Sejumlah isu seperti perang dagang dengan negara mitra AS yang mencetak surplus, pemangkasan pajak, hingga tekanan kepada minyak iran juga berpeluang mendorong kenaikan laju tekanan inflasi.

“Rupiah berpeluang kembali tertekan, yang nantinya akan merembet dan bermuara pada penurunan daya beli masyarakat di tanah air,” ujarnya.

Maka dari itu, Gunawan menegaskan, kebijakan menaikkan PPN ini sebaiknya dipertimbangkan ulang, setidaknya hingga publik tahu arah kebijakan ekonomi pemerintah AS di 2025.

Apalagi, sejauh ini Presiden telah menginstruksikan untuk mengurangi anggaran infrastruktur. Langkah ini sebenarnya sudah memberikan pesan kepada kita bahwa pemerintah sudah menetapkan skala prioritas pengeluarannya.

“Hanya saja, AS sangat berpeluang mengubah tatanan ekonomi global dengan arah kebijakan yang baru. Dinamika ekonomi global saat ini dan ke depan cenderung memberikan dampak buruk bagi ekonomi di tanah air. Sekalipun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya mampu mengatasi dilema anggaran pemerintah saat ini, tetapi kebijakan apapun yang diambil setelah Trump menjabat akan lebih terukur,” ujarnya.