HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengungkap kredit macet yang tercatat di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) saat ini mencapai angka Rp 9 triliun, atau tepatnya Rp 8,7 triliun.
Hal itu diungkapkannya saat ia menyatakan kesiapan pihaknya di Kementerian BUMN dalam mengimplementasikan kebijakan hapus tagih atas kredit macet di Himbara untuk segmen pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
“Kalau kita lihat angkanya (rata-rata kredit macet per kreditur) kurang lebih di Rp100 juta, sehingga nanti kurang lebih yang ada di Himbara itu nilainya Rp8,7 triliun,” ujar Erick Thohir dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (4/11).
Erick mengatakan, kebijakan hapus tagih kredit macet bagi petani dan nelayan ini menjadi salah satu prioritas bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Dia mengungkapkan, delapan menteri di sektor ekonomi sudah menggelar rapat koordinasi dan berkomitmen untuk mengakselerasi pembentukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal hapus buku dan hapus tagih di Bank BUMN.
Dalam rapat tersebut, kata dia, memang ada perbedaan soal jangka waktu kredit macet untuk segmen UMKM yang harus diputihkan. Kredit macet dalam industri perbankan masih dalam kolektabilitas 5 di mana debitur menunggak utang di atas 180 hari.
“Nah memang ini masih ada usulan apakah dua tahun atau lima tahun atau sepuluh tahun. Nah kami mengusulkan kurang lebih kalau bisa dengan track record lima tahun, tidak dua tahun karena kalau dua tahun terlalu cepat,” ucapnya.
Diketahui sebelumnya, wacana kebijakan hapus tagih kredit macet untuk segmen UMKM disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra yang sekaligus adik Presiden Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.
Hashim menyampaikan, bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk memulihkan akses penyaluran kredit para petani dan nelayan. Sebab ada jutaan petani dan nelayan yang selama ini terbebani dengan utang lama di bank.
Pada akhirnya, kata dia, membuat para petani dan nelayan harus berurusan dengan rentenir dan pinjol, karena tidak bisa mendapat pembiayaan dari perbankan masih adanya tanggungan utang sebelumnya.
“Ada jutaan petani dan nelayan yang terbebani utang lama. Ada utang yang sudah dua puluh tahun lalu, ada yang dari tahun 1998, ada juga yang dari 2008,” ujarnya dalam keterangannya dalam sebuah diskusi, yang dikutip Jumat (25/10).
“Sekitar 5-6 juta petani dan nelayan terpaksa beralih ke rentenir serta pinjaman online, karena tidak bisa pinjam uang dari bank,” tambah Hashim.
Hashim berharap masyarakat, khususnya para petani dan nelayan akan mendapatkan dampak positif dari kebijakan tersebut.
“Saya berharap masyarakat mendapat kesempatan pinjam lagi ke bank. Itu salah satu langkah pengentasan kemiskinan. Dengan demikian 30-40 juta manusia akan dapat dampak yang positif ke depannya,” pungkas Hashim.