HOLOPIS.COM, JAKARTA – Harga emas dunia pekan ini mengalami koreksi tipis setelah sempat mencatat rekor tertinggi sepanjang masa (all-time high/ATH). Pada penutupan Jumat (1/11), harga emas spot (XAU/USD) turun 0,27 persen ke USD2.736,45 per troy ons.
Penurunan ini terjadi meskipun dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil (yield) Treasury menguat setelah pulih dari penurunan awal.
Kondisi ini dipicu oleh laporan pekerjaan AS yang menunjukkan penurunan besar dalam perekrutan pada Oktober, yang sebagian disebabkan oleh dampak badai dan pemogokan.
Sepanjang minggu, harga emas melemah 0,39 persen setelah mencapai rekor penutupan tertinggi di USD2.787,47 per troy ons pada Rabu (30/10). Sementara itu, dalam sebulan terakhir, emas mengalami kenaikan 2,92 persen dan sepanjang 2024 telah meningkat sebesar 32,65 persen.
Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan hanya ada 12.000 pekerjaan baru yang tercipta pada Oktober, jauh di bawah proyeksi 110.000 posisi. Angka ini turun drastis dari 254.000 posisi baru yang direvisi pada bulan sebelumnya.
Biro tersebut menyatakan bahwa pemogokan di sektor manufaktur dan badai Helene serta Milton yang melanda kawasan tenggara AS menjadi penyebab penurunan tersebut. Data ini menjadi salah satu rilis ekonomi utama sebelum pengumuman kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pada 7 November mendatang.
Mayoritas analis memperkirakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin setelah penurunan 50 basis poin pada pertemuan sebelumnya. Namun, data yang lemah ini bisa saja menambah tekanan bagi FOMC untuk mempertimbangkan pemangkasan yang lebih besar.
Laporan pekerjaan ini mendorong penguatan indeks dolar AS sebesar 0,23 poin ke angka 104,21 setelah sempat menyentuh 103,68. Sementara itu, yield Treasury juga mengalami kenaikan. Yield obligasi dua tahun AS tercatat menguat 2,1 basis poin ke 4,21 persen, sementara obligasi 10 tahun menawarkan yield 4,354 persen, naik 6,4 basis poin.
Chief Market Analyst FxPro, Alex Kuptsikevich, mengungkapkan bahwa indikator momentum emas saat ini sudah memasuki wilayah overbought.
“Dalam basis mingguan, indeks RSI telah melampaui angka 80. Ini baru keenam kalinya dalam lima belas tahun terakhir. Koreksi selalu mengikuti, dengan koreksi terkecil sebesar 5 persen pada April tahun ini. Pada kesempatan lain, penurunan berkisar antara 8 persen hingga 20 persen,” ujarnya.
Namun, ia juga mencatat satu faktor penting terkait harga emas saat ini. “Sinyal koreksi muncul ketika aset kembali dari wilayah overbought; sebelum titik ini, melawan tren akan sulit karena perubahan harga dapat sangat berfluktuasi akibat margin calls posisi short,” katanya.
Sejumlah analis juga mencatat bahwa sejak musim panas, koreksi harga emas masih terbilang dangkal. Pada awal bulan ini, emas sempat turun USD80 sebelum kembali melonjak hingga menyentuh USD2.800 per troy ons.
Meskipun risiko pasar meningkat, Senior Market Analyst di Trade Nation, David Morrison mengatakan, pasar emas mungkin belum siap untuk koreksi besar.
“Emas memang sudah lama menunggu koreksi, atau setidaknya periode konsolidasi yang cukup panjang. Emas telah naik 40 persen sejak pertengahan Februari, dari USD1.990 menjadi USD2.790, secara cukup langsung,” ujarnya.
Morrison menambahkan, “Pada level saat ini, emas belum se-overbought seperti pada bulan April. Jadi masih ada kemungkinan kenaikan sebelum mencapai ‘waktu keputusan’.” tambahnya.
Beberapa analis memperkirakan harga emas mungkin akan terus naik hingga menyentuh level psikologis USD3.000 per troy ons sebelum terjadi koreksi signifikan. Level ini dianggap penting karena mendekati rekor tertinggi emas yang disesuaikan dengan inflasi.
Terlepas dari potensi volatilitas jangka pendek, banyak analis tetap optimis bahwa penurunan harga emas justru membuka peluang beli. Mereka melihat tren bullish pada emas masih solid, didorong oleh fundamental yang kuat dan ketidakpastian geopolitik yang tinggi.
Selain itu, para analis optimis bahwa emas akan tetap mendapat dukungan kuat di tengah kebijakan pelonggaran moneter baru dari The Fed.