HOLOPIS.COM, JAKARTA – KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menahan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik (AT), Jumat (1/11).
Ahmad Taufik yang merupakan salah satu tersangka kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) saat pandemi COVID-19 di rumah tahana (Rutan) KPK.
Ahmad Taufik berompi oranye menyusul dua tersangka lainnya yang sudah ditahan lebih dulu pada Kamis, 3 Oktober lalu. Kedua tersangka lainnya itu yakni Budi Sylvana (BS) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, Satrio Wibowo (SW).
“KPK melakukan penahanan terhadap saudara AT untuk 20 hari pertama terhitung sejak hari ini, 1 November sampai 20 November di Rutan KPK,” ujar Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dikutip Holopis.com.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dugaan perbuatan rasuah para tersangka membuat negara merugi hingga Rp 319 miliar. Adapun anggaran pengadaan ini berasal dari Dana Siap Pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2020.
KPK menduga telah terjadi pelanggaran prosedur pembelian. Di antaranya, pendistribusian oleh TNI atas perintah Kepala BNPB saat itu mengambil APD dari produsen milik PT PPM di Kawasan Berikat dan langsung mengirimkannya ke 10 provinsi tanpa dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung dan surat pemesanan.
Selain itu, ada negosiasi ulang yang dilakukan oleh Harmensyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) BNPB supaya harga APD diturunkan sebesar 10 dolar Amerika Serikat atau dari 60 dolar menjadi 50 dolar. Menurut KPK proses ini tidak mengacu pada harga APD merek sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yakni sebesar Rp 370 ribu.
Kemudian terjadi backdate untuk menunjuk Budi sebagai PPK untuk pengadaan APD di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Sementara surat dikeluarkan sehari sebelumnya.
Selain itu, terdapat penerbitan Surat Pesanan APD dari Kemenkes kepada PT PPM sejumlah 5 juta set dengan harga satuan 48,4 dolar Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Budi, Ahmad Taufik dan Satrio. Di mana dalam surat itu tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci.
Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI turut menandatangani.
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum. Diantaranya, kerja sama antara PT PPM, PT EKI, PT YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Lalu, PT EKI dan PT YS terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Selain itu PT EKI yang ditetapkan sebagai penyedia APD tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD.
“Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319 miliar (Rp 319.691.374.183,06),” kata Ghufron.
KPK menduga perbuatan para tersangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).