HOLOPIS.COM, JAKARTA – PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal dengan nama Sritex adalah salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang baru-baru ini dinyatakan pailit.
Namun sebelum dinyatakan pailit oleh PN Niaga Kota Semarang, perusahaan ini memiliki perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan dan inovasi di dunia tekstil. Mari kita telusuri lebih jauh sejarah berdirinya Sritex dan perkembangannya hingga kini.
Awal Mula Berdirinya Sritex
Sejarah Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika H.M. Lukminto, seorang pengusaha asal Surakarta, Jawa Tengah, mendirikan sebuah usaha kecil di Solo yang dikenal dengan nama Sri Rejeki Isman.
Awalnya, usaha ini adalah sebuah toko tekstil kecil yang menjual kain di pasar tradisional di Solo. Dengan semangat yang tinggi, H.M. Lukminto terus mengembangkan usaha ini hingga menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia.
Pada awal berdirinya, fokus utama Sritex adalah produksi kain tenun yang dijual di pasar lokal. Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, perusahaan ini mulai memperluas produksinya dengan memproduksi berbagai jenis kain, termasuk kain seragam militer.
Transformasi Menjadi Perusahaan Tekstil Terintegrasi (1980-an – 2000-an)
Pada dekade 1980-an, Sritex mulai bertransformasi menjadi perusahaan tekstil yang lebih modern dan terintegrasi. H.M. Lukminto menyadari pentingnya teknologi dalam dunia tekstil, sehingga ia mulai berinvestasi dalam mesin-mesin tekstil modern untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi.
Pada tahun 1992, Sritex secara resmi didirikan sebagai PT Sri Rejeki Isman Tbk, menandai langkah penting dalam transformasi perusahaan menjadi perusahaan tekstil terintegrasi yang mencakup seluruh proses produksi, mulai dari pemintalan benang, penenunan kain, pencelupan, hingga pencetakan dan konfeksi.
Ekspansi ke Pasar Internasional (2000-an – 2010-an)
Memasuki tahun 2000-an, Sritex terus memperluas sayapnya dengan menargetkan pasar internasional. Salah satu langkah besar dalam ekspansi internasional ini adalah ketika Sritex mulai memproduksi seragam militer untuk berbagai negara di dunia.
Sritex mendapatkan pengakuan sebagai salah satu produsen seragam militer berkualitas tinggi, yang digunakan oleh banyak angkatan bersenjata di Eropa, Asia, dan Timur Tengah.
Pada tahun 2013, Sritex berhasil mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Langkah ini memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan modal tambahan guna memperluas kapasitas produksi dan memperkuat posisinya di pasar global.
Puncak Kejayaan dan Inovasi (2010-an – Saat Ini)
Sejak mencatatkan sahamnya di BEI, Sritex terus melakukan berbagai inovasi dalam produk dan proses produksinya. Perusahaan ini berhasil mempertahankan posisinya sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, dengan produksi kain yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. Sritex juga mulai berfokus pada sustainability, dengan mengadopsi praktik produksi yang lebih berkelanjutan.
Sritex memiliki empat lini produksi utama, yaitu pemintalan (spinning), penenunan (weaving), pencelupan dan pencetakan (dyeing & finishing), serta garmen (garment).
Dengan sistem produksi yang terintegrasi, Sritex mampu memenuhi berbagai kebutuhan pasar, mulai dari pakaian sehari-hari, seragam militer, hingga pakaian fashion yang memenuhi standar internasional.
Tantangan dan Masa Depan Sritex
Meski telah mencapai kesuksesan besar, Sritex juga menghadapi berbagai tantangan, terutama di tengah dinamika industri tekstil global.
Persaingan dengan produsen tekstil dari negara-negara lain, perubahan tren fashion, serta tuntutan akan produksi yang lebih ramah lingkungan menjadi beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan ini.
Hingga pada akhirnya, Sritex yang dikenal sebagai raksasa tekstil dinyatakan pailit oleh PN Niaga Kota Semarang. Hal ini tertuang dalam hasil putusan atas perkara nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Dari segi laba, perusahaan tekstil ternama asal Solo ini bisa meraup laba bersih hingga mencapai US$ 68 juta atau setara Rp 936 miliar di masa puncak kejayaannya. Bahkan pada tahun 2018, laba perusahaan melesat menjadi US$ 84,56 juta.
Berdasarkan catatan di BEI, Sritex tercatat masih mencetak kenaikan laba pada tahun 2019 menjadi US$ 87 juta. Namun kinerja Sritex mulai turun pada 2020, dimana saat itu merupakan masa pandemi Covid-19.
Meski demikian, perusahaan masih mampu mencetak laba US$ 85,32 juta pada 2020. Kinerja keuangan Sritex semakin memburuk sejak 2021, dimana perusahaan berkode saham SRIL itu menelan kerugian yang sangat besar.
Pada saat itu, tercatat kerugian yang dialami Sritex mencapai US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$).
Kronologi Sritex Dinyatakan Pailit
Kasus kepailitan PT Sritex mulai terungkap ketika perusahaan ini masuk dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan oleh CV Prima Karya terhadap PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) serta tiga anak perusahaannya pada tanggal 6 Mei 2021.
Dengan keputusan ini, Sritex dan tiga anak perusahaannya resmi berstatus PKPU. Pada saat yang sama, utang Sritex tercatat mencapai Rp 5,5 miliar dan perusahaan tersebut memiliki tanggung jawab terhadap 17.000 karyawannya.
Meskipun dalam situasi tersebut, Sritex masih mampu mencatatkan peningkatan ekspor sebesar 8,2 persen pada tahun 2020, meski nilai ekspor Jawa Tengah mengalami penurunan.
Gugatan awal ini diajukan oleh CV Prima Karya, kontraktor yang telah bekerja sama dengan Sritex dan anak perusahaannya selama beberapa tahun terakhir, pada 19 April 2021.
Selain itu, Sritex kembali menghadapi gugatan yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon. Gugatan ini didaftarkan pada 2 September 2024 dan dikabulkan dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid di Pengadilan Negeri Niaga Semarang, pada Rabu, 25 Oktober 2024.
Putusan ini juga membatalkan kesepakatan perdamaian PKPU yang telah disepakati pada Januari 2022, sekaligus menyatakan bahwa perusahaan tersebut pailit.