“Kedua, menghapuskan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan peraturan/undang-undang lainnya yang merugikan petani, seperti melegalkan perampasan tanah, mempermudah impor pangan, food estate, mengalihfungsikan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan menguatkan korporatisasi pangan sebagai hajat hidup rakyat banyak,” lanjut dia.
Kemudian, ketiga adalah menolak impor pangan dan mendorong agar produksi pangan nasional menguataman keluarga petani dalam negeri, bukan dari Food Estate atau lumbung pangan terpusat yang dikelola korporasi. Keempat, menyusun kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia yang didasarkan pada Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Kelima, menguatkan komitmen untuk kembali dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi secara bertahap dan terukur.
Dan terakhir, Henry menilai pemerintah perlu memperkuat kebijakan pertanian nasional dengan mengacu pada norma hukum internasional, yakni hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan atau biasa disebut UNDROP.
“Hal ini (harmonisasi UNDROP dengan kebutuhan nasional Indonesia) bukan hal yang sulit, mengingat pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan seperti UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Pangan, sampai dengan UU Perlintan,” pungkas Henry.