Holopis.com Selain itu, ketidakstabilan ekonomi juga turut berperan dalam meningkatkan doom spending di kalangan generasi ini. Kondisi ekonomi yang tidak pasti, seperti yang dialami selama pandemi COVID-19, membuat banyak Gen Z merasa cemas akan masa depan mereka.

Survei dari Deloitte menemukan bahwa Gen Z lebih cemas tentang kondisi keuangan mereka dibandingkan generasi sebelumnya. Sebagai pelarian dari kecemasan ini, mereka sering kali terjebak dalam perilaku belanja impulsif.

Ditambah lagi, kemudahan akses terhadap platform e-commerce membuat perilaku ini semakin sulit dihentikan. Dengan hanya beberapa klik di aplikasi belanja, barang yang diinginkan bisa segera dikirimkan ke depan pintu.

Fitur “one-click purchase” dan promosi diskon yang selalu tersedia di e-commerce membuat banyak dari mereka tidak tahan untuk berbelanja, meski sering kali hanya karena dorongan impulsif.

Dampak Doom Spending

Meskipun doom spending mungkin menawarkan pelarian jangka pendek, dampak jangka panjangnya sering kali merugikan. Kebiasaan ini dapat menyebabkan keuangan seseorang menjadi tidak stabil.

Bankrate melaporkan bahwa banyak anak muda yang akhirnya terjebak dalam utang kartu kredit karena perilaku konsumtif yang tak terkendali.

Tanpa pengelolaan keuangan yang baik, doom spending bisa menghabiskan tabungan masa depan dan menyebabkan masalah finansial yang semakin parah.

Tak hanya berdampak pada kondisi finansial, perilaku ini juga dapat memperburuk kesejahteraan mental. Alih-alih menyelesaikan masalah, doom spending justru bisa menambah beban psikologis.

American Psychological Association (APA) mencatat bahwa orang yang sering berbelanja untuk meredakan stres berisiko mengalami kecemasan dan depresi yang lebih besar. Perasaan bersalah setelah melakukan pembelian impulsif hanya akan memperburuk kondisi mental mereka.

Selain itu, kebiasaan doom spending juga dapat memengaruhi hubungan sosial. Ketika kondisi finansial memburuk, konflik tentang uang sering kali muncul dalam hubungan dengan keluarga, teman, atau pasangan.

Hal tersebut justru akan memperburuk kualitas hubungan interpersonal dan menambah tekanan dalam kehidupan sehari-hari.