HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pada hari ini tanggal 30 September, masyarakat Indonesia kembali mengingat sejarah kelam tanah air yaitu peristiwa Gerakan 30 September.
Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada tahun 1965 menyisakan banyak cerita tragis, terutama mengenai para korban yang menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia. Berikut ini adalah profil singkat 7 pahlawan revolusi yang menjadi korban G30S/PKI.
1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani
Jenderal Ahmad Yani merupakan tokoh militer yang sangat penting di tanah air. Ia lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922 silam. Ahmad Yani juga merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu. Ahmad Yani gugur ditembak di kediamannya di malam G30S/PKI. Jasadnya kemudian ditemukan bersama para petinggi TNI lain di dalam sumur lubang buaya.
Saat ini, jasad Jenderal TNI anumerta Ahmad Yani bersemayam di Taman Makan Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta Selatan.
2. Letjen TNI Anumerta Suprapto
Letnan Jenderal Suprapto adalah pria kelahiran Purwokerto pada 20 Juni 1920 silam. Semasa mudanya, ia mengikuti pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan di Bandung, Jawa Barat. Namun pendidikannya terganggu karena kehadiran Jepang.
Kemudian ia pun mengikuti kursus di Pusat Latihan Pemuda dan aktid di Kantor Pendidikan Masyarakat. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Sebelum meninggal dunia karena dibunuh oleh tentara PKI, Suprapto pernah dipercaya TNI AD menjabat sebagai Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra yang bermarkas di Medan. Pangkatnya saat itu masih Mayor Jenderal (Mayjen). Namun ia tewas dalam pemberontakan PKI tersebut, Mayjen TNI Soeprapto pun mendapatkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) sebagai Letnan Jenderal TNI Anumerta.
Makamnya Letjen TNI Anumerta Suprapto saat ini ada di TMPN Kalibata, Jakarta Selatan.
3. Letnan Jenderal TNI Anumerta M.T Haryono
M.T Haryono adalah seorang perwira Angkatan Darat yang memiliki banyak kemampuan bahasa, termasuk Belanda, Inggris, dan Jerman. M.T. Haryono ditangkap di rumahnya dan ikut menjadi korban.
Nama lengkapnya adalah Mas Tirtodarmo Haryono. Ia merupakan putra kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924. Ia juga merupakan anak pegawai negeri di Kementerian Dalam Negeri era pemerintahan Hindia-Belanda kala itu.
Sebagai pemuda pelajar, ia suka berolahraga atletik, seperti ; tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun 1942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret 1942).
Sebagai pribadi, MT Haryono dikenal sebagai seorang yang sangat sederhana, bahkan prinsipnya itu ia terapkan juga kepada anggota keluarganya. Ia mendidik anak dan istrinya agar tetap hidup biasa saja tanpa tergoda kemewahan harta.
Sayangnya, ia menjadi salah satu target dari kelompok militer Tjakrabirawa yang bertujuan untuk membunuh para jenderal yang dianggap membahayakan PKI kala itu. Mayor Jenderal TNI MT Haryono dibunuh dan jasadnya dibuang ke lubang buaya.
Karena kematiannaya itu, ia mendapatkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa satu tingkat di atasnya, yakni Letnan Jenderal TNI Anumerta M.H Haryono.
4. Mayjen TNI Anumerta Donald Ignatius Panjaitan
D.I Panjaitan adalah salah satu perwira tinggi di Angkatan Darat. Ia dikenal karena keberaniannya dalam berbagai operasi militer. Pada malam 30 September, Panjaitan diculik dan dibunuh, menjadikannya salah satu martir dalam perjuangan melawan ancaman komunisme.
Donald Izacus Panjaitan lahir di Tapanuli 9 Juni 1925. Ia juga jago berbahasa asing, khususnya bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Bekal kemampuannya itu membuatnya nekat untuk merantau dari Tapanuli.
Pasca proklamasi kemerdekaan, Pandjaitan bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang nantinya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan menjabat sebagai Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan Resimen IV Divisi III / Banteng hingga pada puncaknya menjabat sebagai Asisten IV Menteri / Panglima Angkatan Darat.
Sebelum menjadi korban tewas dalam misi pemberontakan kelompok PKI, D.I Panjaitan merupakan Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal TNI.
Karena kematiannya akibat ulah PKI, D.I Panjaitan mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa dari TNI sebagai Mayor Jenderal TNI Anumerta.
5. Letnan Jenderal Anumerta S. Parman
Letnan Jenderal Siswondo Parman adalah salah satu perwira intelijen yang sudah lama menjadi incaran kelompok PKI. Hal tersebut karena S.Parman sebagai perwira intelijen sudah mengetahui rencana dari partai itu.
S. Parman lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918. Dia merupakan anak ke-6 dari 11 bersaudara. Dia mengenyam pendidikan HIS di Wonosobo.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari Polisi Militer di Yogyakarta. Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor.
Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk pelatihan lebih lanjut. Setelah sekolah polisi ke Amerika, ia kemudian menjadi asisten intelijen KSAD Jenderal Ahmad Yani.
Pangkat terakhir S. Parman adalah Mayor Jenderal TNI. Namun karena ia meninggal dunia akibat pemberontakan PKI, pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Letjen TNI Anumerta.
6. Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo adalah putra kelahiran Kebumen pada 28 Agustus 1922. Ia bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia, hingga kemudian dirinya menjadi Polisi Militer Indonesia. Kemudian pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan komandan Polisi Militer saat itu, yakni Gatot Soebroto.
Karir militernya memang cukup cepat dan bagus. Bahkan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer.
Setelah melakukan pendidikan lebih lanjut, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
Pangkat terakhir Sutoyo Siswomiharjo adalag Brigadir Jenderal TNI. Namun nasibnya berakhir nahas setelah menjadi salah satu korban G30S/PKI. Karena penyebab kematiannya akibat pemberontakan PKI, kemudian Sutoyo naik pangkat menjadi Mayor Jenderal TNI Anumerta.
7. Kapten Anumerta Pierre Tendean
Kapten Pierre Tendean lahir di Jakarta, 21 Februari 1939. Walaupun lahir di Jakarta, darah Minahasa mengalir deras di tubuhnya saat itu. Bahkan ia adalah perwira muda berprestasi yang merupakan ajudan dari Jenderal A.H. Nasution.
Sosok anak dokter ini memang memiliki keberanian dan berkorban yang sangat tinggi demi bangsa dan negara. Tapi sebenarnya, ia bukan menjadi target operasi PKI saat itu. Karena dalam peristiwa G30S/PKI, ia disangka sebagai Jenderal Nasution.
Pun demikian, Tendean akhirnya ikut dipromosikan menjadi Kapten berdasarkan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi (Keppres) No. 110/KOTI/1965. Pada hari itu juga, berdasarkan Keppres No. 111/KOTI/1965, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia. Kemudian pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 1965, Tendean dianugerahi Bintang Republik Indonesia Adipradana berdasarkan Keppres No. 50/BTK/1965.