HOLOPIS.COM, JAKARTA – Di era globalisasi ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa budaya berpakaian di kalangan milenial dan Gen Z sangat dipengaruhi oleh tren dari Barat.

Melalui media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Pinterest, tren fesyen dari Amerika, Eropa, hingga Korea Selatan menyebar dengan cepat dan menjadi inspirasi gaya berpakaian anak muda di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Tapi, apakah budaya berpakaian ini benar-benar mencerminkan identitas kita? Atau hanya sekadar mengikuti arus tren global?

Tren Berpakaian : Pengaruh Barat dan Globalisasi

Kita bisa melihat bagaimana budaya Barat menjadi standar fesyen yang mendominasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Mulai dari gaya streetwear yang santai, athleisure yang memadukan gaya olahraga dengan keseharian, hingga gaya minimalis ala Eropa yang mengedepankan kesederhanaan dan elegansi, semuanya begitu cepat diadopsi oleh anak muda.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari globalisasi, yang memungkinkan kita dengan mudah mengakses inspirasi fesyen dari berbagai negara. Fashion show di New York, London, atau Paris kini bisa langsung kita nikmati secara virtual melalui layar ponsel. Brand global seperti Nike, Adidas, Supreme, hingga Zara menjadi simbol status sosial dan gaya hidup modern.

Bahkan, ikon-ikon pop culture dari Barat seperti Billie Eilish, Kendall Jenner, dan Harry Styles menjadi inspirasi dalam menentukan gaya berpakaian milenial dan Gen Z. Mereka tidak hanya mempengaruhi tren pakaian, tapi juga pola berpikir tentang kebebasan berekspresi melalui fesyen.

Kebebasan Ekspresi Melalui Fesyen

Salah satu hal yang menonjol dari gaya berpakaian milenial dan Gen Z adalah kebebasan dalam berekspresi. Fesyen bukan lagi sekadar cara untuk menutupi tubuh, melainkan bentuk ekspresi diri dan pernyataan identitas. Sobat Holopis mungkin sering melihat bagaimana teman-teman atau bahkan dirimu sendiri menggunakan pakaian sebagai medium untuk menunjukkan kepribadian, minat, atau bahkan pandangan sosial-politik.

Tren seperti genderless fashion yang menolak norma berpakaian berdasarkan jenis kelamin semakin marak di kalangan anak muda. Gaya ini mencerminkan pandangan bahwa pakaian tidak harus mengikuti aturan konvensional, melainkan bisa menjadi medium untuk mengekspresikan kebebasan individu.

Namun, di balik kebebasan ini, ada pertanyaan penting: sejauh mana kita bisa tetap memegang nilai-nilai budaya lokal dan agama saat mengikuti tren global? Apakah dengan meniru gaya berpakaian Barat kita kehilangan identitas, atau justru menemukan cara baru untuk mengekspresikan diri?

Perpaduan Antara Budaya Lokal dan Barat

Meski tren Barat begitu mendominasi, banyak anak muda yang mulai mengadopsi budaya lokal ke dalam gaya berpakaian mereka. Misalnya, penggunaan kain tradisional seperti batik dan tenun yang dipadukan dengan gaya modern, atau modifikasi gaya berhijab yang tetap stylish namun tetap sesuai dengan ajaran agama.

Kombinasi antara tren global dan budaya lokal ini menunjukkan bahwa milenial dan Gen Z tidak serta-merta meninggalkan identitas mereka. Sebaliknya, mereka mampu menciptakan gaya yang unik, yang merefleksikan siapa mereka sebenarnya. Ini juga menunjukkan bahwa fesyen tidak harus terkotak-kotak pada satu budaya atau tren tertentu, melainkan bisa menjadi campuran yang kaya dan beragam.

Salah satu contoh nyata adalah bagaimana para hijabers di Indonesia menginspirasi tren fashion hijab yang stylish dan modern, namun tetap sesuai syariat Islam. Sosok seperti Dian Pelangi atau influencers hijab seperti Natasha Rizky dan Tantri Namirah menjadi contoh bagaimana fesyen bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan identitas yang berakar pada budaya lokal, namun tetap relevan dengan tren global.

Fesyen dan Kesadaran Sosial

Selain kebebasan berekspresi, milenial dan Gen Z juga lebih sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari industri fesyen. Tren sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan semakin populer di kalangan anak muda. Brand-brand yang ramah lingkungan, menggunakan bahan daur ulang, atau mendukung etika kerja yang adil, kini semakin digemari.

Mereka sadar bahwa fesyen cepat (fast fashion) yang memproduksi pakaian murah dalam jumlah besar memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, mulai dari limbah tekstil hingga polusi air. Oleh karena itu, banyak anak muda yang mulai beralih ke fesyen yang lebih berkelanjutan, seperti membeli pakaian second-hand atau memilih brand yang lebih bertanggung jawab secara sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa milenial dan Gen Z tidak hanya mengikuti tren untuk gaya, tapi juga mempertimbangkan nilai-nilai yang ada di balik tren tersebut. Kesadaran sosial ini menjadi bagian penting dari identitas generasi ini, yang ingin membuat perubahan positif melalui pilihan gaya hidup mereka.

Menemukan Identitas Melalui Fesyen

Sobat Holopis, fesyen bagi milenial dan Gen Z bukan sekadar meniru tren Barat atau budaya luar, melainkan sebuah medium untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dengan berbagai pengaruh dari luar, kita tetap bisa mengombinasikan nilai-nilai lokal, agama, dan kesadaran sosial ke dalam gaya berpakaian kita.

Fesyen di era modern ini memang sangat cair, tidak ada lagi batasan yang kaku antara tren global dan lokal, antara yang konvensional dan yang baru. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa tetap menjadi diri sendiri, menciptakan gaya yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini, tanpa harus terjebak dalam arus tren yang datang dan pergi.

Jadi, apakah kamu akan mengikuti tren Barat atau menciptakan gaya sendiri yang mencerminkan identitas lokal dan pribadimu? Semuanya kembali pada pilihan dan cara kita memahami arti fesyen dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tetap jadilah dirimu yang otentik, Sobat Holopis, dan temukan gaya yang benar-benar mewakili siapa dirimu!