HOLOPIS.COM, JAKARTA – Hari Aksara Internasional disebut hadir karena kekhawatiran masyarakat dunia, khususnya Amerika Serikat. Pasalnya, di masa itu timbul kekhawatiran mengenai fenomena buta huruf di beberapa kalangan masyarakat.
Kurang lebih 50 tahun lalu, diperkirakan ada 32 juta orang dewasa yang mengalami buta huruf di AS. Fenomena itu kemudian menggugah sekelompok masyarakat untuk melakukan konferensi bertajuk ‘World Conference of Ministers of Education on the Eradication of Illiteracy’ yang digelar di Teheran, Iran pada 1965.
Barulah kemudian pada 8 September 1966, UNESCO mendeklarasikan tanggal tersebut sebagai Hari Aksara Internasional atau International Literacy Day.
Tujuannya, tak lain sebagai pengingat mengenai pentingnya literasi bagi individu, komunitas, dan masyarakat. Ini sebagai upaya menuju masyarakat yang lebih melek huruf demi menciptakan kesejahteraan dunia.
Pada perkembangannya, tepatnya di tahun 1967, komunitas global berkomitmen mengakhiri buta huruf dengan berpartisipasi dalam Hari Aksara Internasional yang pertama. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat di seluruh dunia turut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Pada 1990, peran penting literasi disorot pada konferensi dunia ‘Education for All” di Jomtien, Thailand. Selanjutnya pada 2015, literasi menjadi poin yang dimasukan ke dalam tujuan utama Suistainable Development Goals (SDG’s) bidang pendidikan.
Seiring perkembangan jaman, tepatnya mulai tahun 2017, Hari Aksara Internasional mengalihkan fokusnya ke keterampilan literasi digital, yang dianggap relevan dengan perkembangan zaman.
Untuk di Indonesia, buta aksara pada tahun 2020 berada pada posisi 1,71 persen atau sejumlah 2.961.000 orang. Capaian ini merupakan angka yang cukup besar dan harus menjadi perhatian semua pihak untuk terus mendorong percepatan penuntasan buta aksara di Indonesia.