HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani angkat bicara terkait rencana pemerintah menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis.
Menurutnya, rencana pungutan cukai tersebut memicu efek domino yang tidak hanya memberatkan pelaku usaha, tetapi juga masyarakat karena dampaknya bakal bermuara kepada pengurangan tenaga kerja, alias PHK.
“Kalau cukai naik, harganya juga akan naik, daya beli masyarakat bisa turun dan ketika permintaan turun bisa berdampak pada produksi,” ujar Shinta dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Sabtu (24/8).
“Jika berkepanjangan akan berdampak pula kepada permintaan produksi dan pengurangan tenaga kerja,” imbuhnya.
Sejauh ini, Shinta menyampaikan pihaknya telah melakukan audiensi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan menyampaikan sejumlah masukan terkait rencana penerapan cukai terhadap minuman berpemanis.
“Sebetulnya kami sudah audiensi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dan kami juga sudah sampaikan masukan-masukan kami,” ujar Shinta.
Ia berharap, pembahasan aturan turunan soal rencana penerapan cukai tersebut dapat melibatkan pihaknya di Apindo, sehingga keputusannya nanti dapat membawa dampak positif bagi semua aspek.
Pasalnya, makanan dan minuman manis berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyumbang 39 persen terhadap PDB industri nonmigas, dan menyumbang 6,55 persen terhadap PDB nasional.
Pihaknya juga memahami rencana penerapan pungutan cukai ini dari sisi kesehatan. Dimana menurutnya, minuman berpemanis tidak serta merta dapat menurunkan angka penyakit.
“Jadi menentukan batas gula, garam, lemak (GGL) di produksi pangan olahan saja tidak serta merata menurunkan angka penyakit yang disebabkan gula yang tinggi,” tambahnya.
Shinta menekankan, bahwa pihaknya siap untuk menyajikan data-data terkait apakah penerapan pungutan cukai makanan dan minuman manis akan berpengaruh pada penurunan angka konsumsi GGL.
Sebagai informasi Sobat Holopis, pengenaan cukai terhadap makanan olahan, yang salah satunya minuman berpemanis itu tertuang dalam Pasal 194 Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17/2023 tentang Kesehatan.
Pemerintah dalam baleid tersebut turut menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji. Hal ini sebagai upaya pemerintah dalam pengendalian risiko penyakit tidak menular (PTM).
Dalam aturan itu, pemerintah mempertimbangkan kajian risiko dan standar internasional untuk memberikan gambaran mengenai besaran dan tingkat risiko munculnya penyakit tidak menular akibat mengonsumsi pangan yang mengandung gula, garam, dan lemak. (ANT)
Salah satu pilihan yang paling disukai adalah parcel kue kering. Sobat Holopis bisa menyiapkan berbagai…
Kecepatan laju motor di MotoGP, top speed bisa mencapai lebih dari 350 km/jam. Dalam catatan…
Dua gedung pencakar langit di Kazan, Rusia, menjadi sasaran serangan beberapa pesawat nirawak (drone) Ukraina,…
Pembalap MotoGP akan memacu motornya sekencang mingkin, untuk bisa berada di posisi terdepan. Selain adu…
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), mengukuhkan Prof. Eva Achjani Zulfa, SH, MH sebagai Guru Besar…
Potongan tarif listrik sebesar 50 persen di bulan januari dan Februari 2025, diapresiasi YLKI (Yayasan…