Selain itu yang ketiga, adalah UU tentang pencemaran nama baik yang termaktub di dalam KUHP.

“Kemudian juga ada hukum pidana biasa, KUHP yang sekarang berlaku. Pencemaran nama baik. Tapi yang berat tadi, UU PDP dan UU ITE, kan masih banyak UU lain, nanti ada UU Pemilu, jadi itu pidananya. Dan ada UU Perdata,” papar Mahfud MD.

Perdata Rp 10 Miliar

Dalam konteks hukum perdata, Mahfud pun menerangkan bahwa masyarakat yang merasa menjadi korban pencatutan identitas untuk dukungan kepada Pongrekun dan Kun tersebut bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Bahkan korban bisa meminta uang ganti rugi hingga puluhan miliar rupiah per orangnya.

“Yang dirugikan bisa menggugat perdata kepada yang mengambil datanya. Saya dirugikan, data saya dipakai untuk mendukung gitu. Bisa setiap orang meminta Rp10 miliar, Rp20 miliar, bisa secara hukum,” terangnya.

Oleh sebab itu, Mahfud yang juga mantan Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju tersebut menyarankan agar masyarakat segera menggugat, sebab ada celah hukum yang bisa mengakomodir keresahan dan kerugian materil maupun inmateril akibat pencatutan identitas pribadi itu.

“Bagus juga yang mendengarkan saya, yang namanya dicatut langsung aja gugat ke pengadilan Pongrekun ini, bahwa dia merugikan saya. Polisi ambil pidananya, rakyat ambil perdatanya,” tandasnya.

Terakhir, jika benar ada pencatutan identitas seperti yang tengah dikeluhkan banyak masyarakat itu, Mahfud MD menyarankan agar KPU maupun Bawaslu segera membatalkan pencalonan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana dalam pendaftaran mereka untuk maju Pilkada 2024.

“Hukum administrasi itu tugas pemilu (KPU) dan Bawaslu untuk membatalkan ini. Karena ini permainan demokrasi sudah jorok,” pungkasnya.