“Egoiskah seorang ibu bekerja yang pada hari Sabtu dan Minggu masih harus beraktivitas di luar rumah? Pertanyaan tersebut dilontarkan seorang ibu dalam sebuah webinar bertema “Menyelaraskan Karier dan Keluarga”.
Peran sosial memang menempatkan seorang ibu memiliki peran sebagai penjaga dan sebagai pendidik agar seorang anak menjadi generasi cerdas berkarakter dan berakhlak baik. Bagi perempuan bekerja yang juga ibu rumah tangga, menjalankan peran ini menjadi tidak mudah karena membutuhkan kemampuan yang luar biasa untuk menjalankan kedua peran tersebut secara berimbang.
Peran yang disematkan lingkungan sosial pada ibu dengan sendirinya membuat peran ibu rumah tangga yang juga berkarir di luar rumah menjadi tidak mudah. Seorang ibu bekerja memerlukan profesionalitas tinggi dalam menjalankan kedua tugasnya secara paralel dan bersinergi.
Ibu bekerja memiliki motivasi beragam dalam menjalani peran gandanya. Sebagian ibu bekerja ingin mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan dirinya, sebagian untuk wadah membangun hubungan sosial dengan lingkungan. Di samping itu, dengan bekerja, seseorang akan mendapatkan upah yang menjadikannya mandiri secara finansial. Namun demikian, di luar berbagai sisi positif yang bisa diperoleh melalui bekerja, ibu bekerja sering kali menemukan konflik dalam dirinya, bahkan bisa menjadi konflik dengan keluarga, terutama dengan pasangan. Konflik dapat terjadi apabila ibu bekerja tidak mampu menjalankan peran gandanya dengan baik.
Di dunia kerja, para ibu bekerja mungkin saja dihadapkan dengan persaingan dalam mengejar posisi dan penghasilan yang lebih baik. Capaian yang tidak sesuai kemampuan dapat menimbulkan kecemburuan sosial, terutama bila membandingkan capaian sendiri dengan capaian yang diperoleh kaum laki-laki yang tidak diikat dengan urusan-urusan rumah tangga. Adakalanya, perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dari pihak perusahaan dan lingkungan kerja. Apabila ditemukan diskriminasi gender di tempat kerja akan menjadi salah satu menyebab seorang ibu menjadi enggan untuk bekerja.
Dilema yang dialami para ibu rumah tangga berkarir ini biasa disebut dengan work-family conflict.
Ada perempuan yang mampu menikmati peran gandanya, namun tidak sedikit yang menganggap betapa beratnya berkarir dengan beban tugas rumah tangga yang tidak ringan. Seorang perempuan yang memilih untuk memprioritaskan karir dengan sendirinya akan mengorbankan waktu yang semestinya ia habiskan bersama keluarga, namun bila memilih keluarga akan menurunkan kinerja dalam berkarir. Dilema yang dialami para ibu rumah tangga berkarir ini biasa disebut dengan work-family conflict. Situasi ini terjadi apabila seorang ibu merasa kesulitan dalam menjalankan peran sebagai perempuan berkarir dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai ibu rumah tangga.
Ibu bekerja lainnya bertanya, “Omongan orang sekitar yang mengkritik ibu bekerja tidak bisa dihindari, bagaimana agar ibu bekerja dapat menjadi kuat menghadapi kritik negatif orang sekitar?” Dilema umum yang dialami ibu bekerja adalah: “Lebih baik bekerja, atau sepenuhnya di rumah mengurus keluarga?”. Ini merupakan konflik dalam diri sebagai orang yang telah menempuh sekolah tinggi dan ingin mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh agar bermanfaat bagi orang lain sekaligus memberi manfaat finansial. Seorang perempuan juga akan mengalami konflik dalam dirinya karena orangtuanya telah memberikan kesempatan baginya untuk bersekolah tinggi dan membiayai sekolahnya, namun pada akhirnya harus mengabdi pada suami dan keluarga.
Adakalanya, seorang istri bahkan memiliki potensi karir yang lebih baik dari suami, namun terpaksa mengalah untuk tidak membangun karir, karena harus menjalankan peran tradisional sebagai perempuan. Bisa juga seorang perempuan yang memiliki kemampuan lebih baik dari suaminya dalam mencari nafkah, namun suaminya justru yang harus menerima kesempatan untuk bekerja mencari nafkah.
Dalam praktiknya, banyak ibu yang mampu menyeimbangkan karir di dunia kerja dengan kehidupan keluarga, bahkan pada banyak bidang pekerjaan perempuan mampu mengembangkan bakat dan kemampuannya sehingga mampu mencapai puncak karir. Sebut saja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan banyak perempuan lain yang sukses mengelola perusahaan-perusahaan besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan bekerja mampu mengembangkan kemampuan sekaligus mempelajari kemampuan baru serta menambah pengalaman baru yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungan mereka. Keselarasan dalam pemanfaatan waktu dan energi untuk kehidupan pribadi dan pekerjaan atau work-life balance akan membuat mereka terbebas dari masalah kesehatan mental, baik bagi ibu maupun anggota keluarga inti yang lain.
Hasil penelitian Satata dan Shusanti yang dipublikasikan pada Jurnal Dinamika Sosial Budaya tahun 2020, menunjukkan bahwa dengan bekerja, seorang ibu bekerja akan merasa lebih sejahtera daripada hanya menjadi ibu rumah tangga, partisipan merasa lebih sehat secara psikis ketika berkarir dan beraktivitas di luar rumah, di samping karena mampu membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Partisipan lain mampu mengembangkan minatnya, namun masih ada partisipan yang merasakan adanya kesenjangan dalam penugasan. Sama halnya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, secara umum, para partisipan pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah dengan work-life balance pada ibu bekerja,.
Konflik dalam kehidupan ibu bekerja tidak terlalu dirasakan apabila ibu bekerja mampu mengekspresikan diri melalui lingkungan sosial dalam organisasinya. Latar belakang pendidikan yang umumnya tergolong tinggi juga membantu dalam mengelola dilema tersebut. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang memotivasi seorang ibu dalam berkarir karena akan memberi kesempatan untuk berkontribusi di luar rumah (dunia kerja). Umumnya ibu bekerja memiliki motivasi ekonomi dan kemandirian. Hal ini juga ditemukan pada hasil penelitian Satata dan Shusanti di mana partisipan menikmati apa yang menjadi impiannya, dan pada masa tua mereka dapat memiliki lingkungan sosial yang memiliki pemikiran yang setara agar dapat terhindar dari masalah kesehatan mental karena penuaan seperti alzhaimer, stres, dan cemas akibat kesepian.
Bekerja dapat menurunkan tingkat stres dibandingkan bila hanya beraktivitas di dalam rumah. Ibu bekerja yang mampu mengatur work-life balance akan mampu meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan diri karena mampu menekan work-family conflict. Dengan bekerja, perempuan berkarir dapat mengembangkan keterampilannya sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan teknologi. Menurut Djamaluddin, dalam artikel yang dipublikasikan di Jurnal Al-Maiyyah tahun 2018, saat berperan sebagai orang tua, ibu bekerja dapat memonitor anak dengan bantuan teknologi, meski dibatasi jarak dan waktu. Selain itu hubungan ibu, sebagai perempuan bekerja, dengan keluarga menjadi tidak terasa jauh karena kualitas pertemuan yang baik dan terjaga melalui pendekatan-pendekatan yang inovatif.
Apa saja kunci yang harus dimiliki seorang ibu bekerja agar dapat menyelaraskan peran sebagai ibu rumah tangga dan peran sebagai perempuan bekerja? ;
Selamat mencoba.
Umat kristen di Gaza meryakan hari Natal, dengan melaksanakan misa di di Gereja Keluarga Kudus…
Harga emas batangan bersertifikat yang dijual di PT Pegadaian (Persero) terpantau masih tidak bergerak pada…
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan ucapan Hari Raya Natal, kepada seluruh umat Kristiani yang merayakan. Prabowo…
JAKARTA - Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD merasa heran dengan vonis hukuman yang dijatuhkan majelis…
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo menyoroti perihal bantuan sosial (bansos) yang dalam beberapa tahun…
Kiper utama Bayern Munchen Manuel Neuer bermaksud baik dengan mengunggah pohon natal pada Hari Raya…