HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pemerintah memperbolehkan korban tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual yang berujung pada kehamilan untuk melakukan aborsi atau pengguguran kehamilan.
Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat (26/7) lalu.
Pasal 116 PP tersebut, pemerintah secara tersirat memperbolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban kedua tindak pidana tersebut.
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan, sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana,” demikian bunyi Pasal 116 PP tersebut, seperti dikutip Holopis.com, Selasa (30/7).
Dalam PP tersebut, kedaruratan medis harus dindikasikan dengan kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu serta kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak bisa diperbaiki, sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
Sementara untuk kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau akibat tindak pidana kekerasan seksual harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan, sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lainnya.
Dalam Pasal 118 huruf b, tindakan aborsi juga dapat dilakukan dengan keterangan penyidik mengenai dugaan perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan pada kehamilan.
Kemudian dalam Pasal 119, pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang sumber daya kesehatannya sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan.
Dalam proses pelayanan aborsi harus diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan, dimana tim pertimbangan ini harus diketuai oleh komite medik rumah sakit dengan anggota tenaga medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Korban tindak pidana kekerasan seksual yang hendak melakukan aborsi, juga harus mendapat pendampingan konseling.
“Apabila selama pendampingan korban hendak berubah pikiran dan membatalkan aborsi berhak mendapat pendampingan hingga persalinan,” demikian bunyi Pasal 124 ayat 1.
Anak yang dilahirkan oleh korban pemerkosaan atau kekerasan seksual berhak diasuh oleh ibu atau keluarganya. Namun bila tak mampu, maka dapat diasuh oleh lembaga pengasuhan anak atau menjadi anak yang dipelihara oleh negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.