HOLOPIS.COM, JAKARTA – Dalam upaya menjaga keamanan dalam negeri, penegakan hukum menjadi salah satu pilar utama yang harus diperkuat. Dengan penegakan hukum yang kuat, negara dapat melindungi warganya dari berbagai ancaman yang berpotensi merusak stabilitas dan kedamaian.
Namun, saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan-tantangan kompleks terkait fenomena FTF yang berafiliasi dengan ISIS. Mereka yang dideportasi karena usahanya untuk terlibat dengan ISIS telah menambah kompleksitas lanskap keamanan nasional.
Mengutip data Satgas FTF BNPT tahun 2024, saat ini terdapat 583 deportan terpapar paham radikalisme-terorisme yang tersebar di 21 wilayah di Indonesia. Jumlah ini termasuk mereka yang ingin bergabung dengan ISIS maupun mereka yang menjadi pekerja Migran Indonesia di luar negeri.
Merespons data ini, Kombes Pol Dr. Didik Novi Rahmanto yang merupakan Serdik Sespimti Dikreg ke-33 T.A 2024 menyebut penanggulangan deportan terpapar radikalisme dan terorisme harus segera diwujudkan secara komprehensif.
“Kondisi ini membuat penegakan hukum yang optimal semakin mendesak untuk segera diwujudkan untuk penanggulangan terorisme, terutama terkait dengan deportan yang terpapar radikalisme-terorisme,” kata Kombes Pol Didik seperti dikutip Holopis.com.
Lebih lanjut Didik menyebut deportan yang terpapar dalam ideologi ekstrem harus direspons dengan upaya penegakan hukum yang cermat dan proaktif untuk memastikan kepastian hukum dilaksanakan dengan menjunjung tinggi HAM.
“Kondisi ini tentunya perlu disadari oleh Aparat Pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia,” tuturnya.
Khusus terkait tantangan penanganan deportan kasus radikalisme-terorisme, Muhamad Syauqillah menyebut rotasi pimpinan di tubuh institusi aparat penegak hukum sebagai salah satu pangkal persoalannya.
“Bagaimana staf di lapangan berotasi, atau kepemimpinan berganti, itu yang kemudian sering mengganggu penanganan deportan yang sedang berlangsung,” kata Syauqillah.
Dengan demikian, ia mengusulkan agar dibuat sebuah pedoman bersama bagaimana fokus penanganan deportan semacam ini bisa dilakukan secara linier tanpa terganggu dengan sistem rotasi di lembaga yang menanganinya.