HOLOPIS.COM, JAWA TENGAH – Profesor Muhyar Fanani mengkritisi terkait dengan beragam persoalan kenegaraan yang belakangan muncul, seperti ; korupsi, kesenjangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, demokrasi liberal serta praktik politik oligarki harus direspons dengan cermat.
Profesor Muhyar Fanani dalam pidato pengukuhan guru besar bidang Ilmu Hukum Islam mengatakan ragam persoalan kenegaraan yang terjadi saat ini harus segera direspons dengan gagasan fiqih madani. Ia menyebutkan instrumen tersebut dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengkarut kenegaraan.
“Hukum Islam harus mampu bertransformasi menjadi hukum madani, yakni hukum yang beresensi syariat tapi diformulasikan oleh lembaga legislatif secara demokratis,” kata Muhyar dalam pidatonya di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (24/7) seperti dikutip Holopis.com.
Operasionalisasi dari gagasan tersebut, Muhyar menyebutkan dibutuhkan kolaborasi dari pelbagai pihak mulai dari ulama, lembaga legsilatif hingga lembaga eksekutif yang sama-sama memerankan sebagai mujtahid di era negara-bangsa saat ini.
“Para ulama berperan sebagai mujtahid istimbathi, sementara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif berperan sebagai mujtahid tathbiqi,” papar Muhyar.
Tidak sekadar itu, Muhyar juga menyebutkan transformasi fiqih Islam menjadi fiqih madani membutuhkan penambahan syarat teoritis dalam kajian ushul fiqh yakni aspek implementasi hukum Islam yang bertumpu pada kreativitas akal dan pengalaman (empiris) dari mujtahid dengan berpijak pada kondisi obyektif negara bangsa.
“Ada enam langkah yang bisa ditempuh dalam upaya transformasi dari fiqih Islam ke fiqih madani,” cetusnya.
Enam langkah tersebut, Muhyar menguraikan yakni ;
- Identifikasi masalah publik,
- Identifkasi hukum Islam yang terkait dengan persoalan yang dimaksud,
- Penamaan nomenklatur baru atas hukum Islam yang dapat dipahami pelbagai pihak,
- Formulasi substansi hukum Islam menjadi draf hukum madani,
- Draf hukum madani ke dalam proses legislasi nasional melalui instrumen ketatanegaraan di DPR, serta
- Mendorong peran lembaga yudikatif untuk menjalankan hukum madani secara berkeadilan.
“Enam langkah tersebut dilakukan secara simultan dan komprehensif,” tegas Muhyar.
Dalam penjelasannya, Muhyar tak sedikit mengutip sejumlah pemikiran intelektual Islam seperti Muhammad Shahrur dan Yusuf Al-Qardhawi. Menurut dia, Syharur dan Qordhowi memiliki irisan pandangan mengenai Islam yang tidak hanya agama yang berdimensi transendental namun juga memerhatikan masalah sosial dan politik.
“Islam tidak hanya berusaha membangun pribadi yang baik, keluarga yang baik, dan masyarakat yang baik, tapi juga berusaha membangun negara yang baik,” jelasnya.
Namun, Muhyar menggarisbawahi penyebutan negara Islam yang dimaksud bukan berarti negara agama (negara teokrasi), negara pendeta, negara sekuler, bukan pula negara komunis namun yang dimaksud adalah negara madani. Dia menyebutkan, NKRI dapat dikategorikan sebagai negara Islam karena dari awal didesain sebagai negara madani oleh para pendiri bangsa.
“NKRI sesungguhnya memberikan hak kepada warga negara untuk membuat hukumnya sendiri selama sesuai dengan Pancasila. Dalam NKRI, selain urusan ibadah, umat Islam bisa membuat legislasinya sendiri ,” tandas Muhyar.
Pria kelahiran Ngawi 51 tahun yang lalu ini menempuh pendidikan dilalui di jalur keagamaan mulai dari tingkat SLTP, SLTA, hingga pendidikan tinggi (S-1, S-2, dan S-3). Semasa SLTA, ia menjadi siswa di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jember. program madrasah unggulan era Menteri Agama Munawir Syadzali. S-1 hingga S-3 ditempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Muhyar memiliki pengalaman di jabatan struktural di UIN Walisongo. Seperti sejak April 2024 lalu, Muhyar dipercaya menahkodai Pascasarjana UIN Walisongo. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Direktur Pascasarjana (2019-2024) dan sebelumnya menjadi Dekan di FISIP UIN Walisongo (2015-2019).
Muhyar juga menulis banyak artikel ilmiah bereputasi nasional maupun internasional. Ia juga mengikuti sejumlah pelatihan yang diselenggarakan di sejumlah negara, seperti “Quality Assurance for Higher Education, Kiandas Business Academy, Kolkata, India, (2017), Higher Education Management, Melbourne University, Australia, (2013), InternationalResearchTraining, Leipzig University, Germany (2010), dan Ad-Daurah aṣ-Ṣaifiah aṡ-ṡāniyah li Mu’allimī al-Lugah al- ʻArabiyyah min al-Jāmi’āt al-Indūnisiyyah, Jāmi’ah Umm al- Qurā, Makkah (2008).
Pidato Guru Besar, Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Gulirkan Fiqih Madani Respons Sengkarut Kenegaraan
Semarang –
Ragam persoalan kenegaraan yang belakangan muncul seperti korupsi, kesenjangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, demokrasi liberal serta praktik politik oligarki harus direspons dengan cermat. Profesor Muhyar Fanani dalam pengukuhan guru besar Ilmu Hukum Islam di UIN Walisongo, Rabu (24/7/2024) menggulirkan gagasan fiqih madani.
Profesor Muhyar Fanani dalam pidato pengukuhan guru besar bidang Ilmu Hukum Islam mengatakan ragam persoalan kenegaraan yang terjadi saat ini harus segera direspons dengan gagasan fiqih madani. Ia menyebutkan instrumen tersebut dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengkarut kenegaraan. “Hukum Islam harus mampu bertransformasi menjadi hukum madani, yakni hukum yang beresensi syariat tapi diformulasikan oleh lembaga legislatif secara demokratis,” kata Muhyar dalam pidatonya di UIN Walisongo, Semarang, Rabu (24/7/2024).
Operasionalisasi dari gagasan tersebut, Muhyar menyebutkan dibutuhkan kolaborasi dari pelbagai pihak mulai dari ulama, lembaga legsilatif hingga lembaga eksekutif yang sama-sama memerankan sebagai mujtahid di era negara-bangsa saat ini. “Para ulama berperan sebagai mujtahid istimbathi, sementara lembaga legislatif dan lembaga ekskeutif berperan sebagai mujtahid tathbiqi,” papar Muhyar.
Tidak sekadar itu, Muhyar juga menyebutkan transformasi fiqih Islam menjadi fiqih madani membutuhkan penambahan syarat teoritis dalam kajian ushul fiqh yakni aspek impelementasi hukum Islam yang bertumpu pada kreativitas akal dan pengalaman (empiris) dari mujtahid dengan berpijak pada kondisi obyektif negara bangsa. “Ada enam langkah yang bisa ditempuh dalam upaya transformasi dari fiqih Islam ke fiqih madani,” cetus Muhyar.
Enam langkah tersebut, Muhyar menguraikan yakni identifikasi masalah publik, identifkasi hukum Islam yang terkait dengan persoalan yang dimaksud, penamaan nomenklatur baru atas hukum Islam yang dapat dipahami pelbagai pihak, formulasi substansi hukum Islam menjadi draf hukum madani, draf hukum madani ke dalam prorses legislasi nasional melalui instrumen ketatanegaraan di DPR, serta mendorong peran lembaga yudikatif untuk menjalankan hukum madani secar berkeadilan. “Enam langkah tersebut dilakukan secara simultan dan komprehensif,” tegas Muhyar.
Dalam penjelasannya, Muhyar tak sedikit mengutip sejumlah pemikiran intelektual Islam seperti Muhammad Shahrur dan Yusuf Al-Qardhawi. Menurut dia, Syharur dan Qordhowi memiliki irisan pandangan mengenai Islam yang tidak hanya agama yang berdimensi transendental namun juga memerhatikan masalah sosial dan politik. “Islam tidak hanya berusaha membangun pribadi yang baik, keluarga yang baik, dan masyarakat yang baik, tapi juga berusaha membangun negara yang baik,” cetus Muhyar.
Namun, Muhyar menggarisbawahi penyebutan negara Islam yang dimaksud bukan berarti negara agama (negara teokrasi), negara pendeta, negara sekuler, bukan pula negara komunis namun yang dimaksud adalah negara madani. Dia menyebutkan, NKRI dapat dikategorikan sebagai negara Islam karena dari awal didesain sebagai negara madani oleh para pendiri bangsa. “NKRI sesungguhnya memberikan hak kepada warga negara untuk membuat hukumnya sendiri selama sesuai dengan Pancasila. Dalam NKRI, selain urusan ibadah, umat Islam bisa membuat legislasinya sendiri ,” tandas Muhyar.
Pria kelahiran Ngawi 51 tahun yang lalu ini menempuh pendidikan dilalui di jalur keagamaan mulai dari tingkat SLTP, SLTA, hingga pendidikan tinggi (S-1, S-2, dan S-3). Semasa SLTA, ia menjadi siswa di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jember. program madrasah unggulan era Menteri Agama Munawir Syadzali. S-1 hingga S-3 ditempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Muhyar memiliki pengalaman di jabatan struktural di UIN Walisongo. Seperti sejak April 2024 lalu, Muhyar dipercaya menahkodai Pascasarjana UIN Walisongo. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Direktur Pascasarjana (2019-2024) dan sebelumnya menjadi Dekan di FISIP UIN Walisongo (2015-2019).
Muhyar juga menulis banyak artikel ilmiah bereputasi nasional maupun internasional. Ia juga mengikuti sejumlah pelatihan yang diselenggarakan di sejumlah negara, seperti “Quality Assurance for Higher Education, Kiandas Business Academy, Kolkata, India, (2017), Higher Education Management, Melbourne University, Australia, (2013), InternationalResearchTraining, Leipzig University, Germany (2010), dan Ad-Daurah aṣ-Ṣaifiah aṡ-ṡāniyah li Mu’allimī al-Lugah al- ʻArabiyyah min al-Jāmi’āt al-Indūnisiyyah, Jāmi’ah Umm al- Qurā, Makkah (2008).