HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi menyoroti tata kelola penyaluran pupuk subsidi, yang dinilainya terlalu rumit dengan banyaknya regulasi yang mengikat.
“Problemnya sekarang mohon maaf, sorry to say ruwet sekali, banyak sekali aturannya, di daerah aturan banyak. Pupuk ini overly regulated. Terlalu banyak yang mengurusi,” kata Rahmad dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (17/7).
Rahmad mengatakan, penyaluran pupuk subsidi tidak hanya diatur di tingkat pemerintah pusat, tapi juga di pemerintah daerah. Bahkan di pusat, lanjutnya, program pupuk subsidi harus mekanisme birokrasi di 6-7 kementerian.
Dia lantas menjelaskan, realisasi kenaikan alokasi pupuk subsidi sebesar 9,55 juta ton terhambat oleh regulasi dan terlalu banyaknya koordinasi antar kementerian/lembaga terkait, sehingga untuk mencapai final pun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Ketika semua regulasi terkait sudah terbit, ternyata pemerintah dan Pupuk Indonesia tidak bisa berkontrak lantaran anggaran yang belum tersedia. Namun, hal ini telah teratasi dalam rapat pengendalian inflasi bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian.
“Contoh verifikasi dan validasi (verval) dilakukan petugas kecamatan sebagian besar PPL itu honorer. untuk itu, biayanya ditanggungkam ke siapa? Seringkali verval itu dibebankan ke distributor sehingga menyebabkan HET-nya kemudian tidak bisa dipertahankan. Itu baru satu hal belum lagi distributor mau perpanjang rekomendasi, setiap tahun memperpanjang rekomendasi dinas. Jadi variasi kebijakan tingkat nasional ke daerah ini very complicated,” ujarnya.
Karena terlalu banyak peraturan, Rahmat menyebut dapat menyebabkan regulatory cost, seperti penagihan pupuk subsidi dengan biaya bunga yang besar.
Menurutnya, dari proses pertama penyaluran hingga terbitnya surat perintah pencairan dana memakan waktu lima bulan. Apabila dapat disederhanakan dan waktu yang sedikit, tentu dapat menghemat anggaran negara.
Dia juga menyoroti terkait peraturan kewajiban stok pupuk di tiap kabupaten. Setidaknya, Pupuk Indonesia harus menyetok sebanyak 1,7 juta ton pupuk setiap kabupaten. Hal tersebut menelan biaya sebesar Rp 9 triliun.
“Belum lagi, misalnya ketentuan di Permendag yang mewajibkan kita memiliki stok di setiap kabupaten. Di kabupaten Karawang, di Gresik, di Kabupaten Gresik, Bojonegoro, Lampung, Sidoarjo. Akibatnya kita ini mengharuskan stok sebesar 1,7 juta ton untuk memenuhi regulatory tadi. Biayanya itu Rp 9 triliun,” terangnya.
Dengan rumitnya regulasi tersebut, dia mendorong pemerintah untuk memperbaiki tata kelola penyaluran pupuk subsidi. Dengan begitu, petani dapat menebus pupuk dengan mudah dan murah.
“Saya mendukung ada perbaikan yg sifatnya dirombak atau dipermudah gimana petani bisa menebus pupuk dengan mudah bagaimana susbidi BBM,” pungkasnya.