HOLOPIS.COM, JAKARTA – Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Luluk Nur Hamidah menyampaikan kritik tajam terhadap Kementerian Agama (Kemenag) terkait pengalihan sebagian besar kuota tambahan haji reguler untuk haji plus.
Luluk mengungkapkan, bahwa dari 20.000 kuota tambahan, hampir 50 persen digunakan untuk kuota haji plus atau furoda.
“Kami sangat terkejut karena ternyata lebih dari kesepakatan bersama di Komisi VIII, (kuota tambahan) dipakai untuk kuota haji plus atau bahkan furoda,” kata Luluk beberapa waktu yang lalu seperti dikutip Holopis.com.
Padahal menurut Luluk, jelas kesepakatan yang diambil antara Kementerian Agama dengan DPR RI adalah, batas yang seharunya adalah maksimal 8 persen untuk kuota tambahan haji 2024.
“Berdasarkan aturan yang berlaku, mestinya tidak lebih dari 8 persen dari kuota tambahan 20.000 itu. Faktanya, hampir 50 persen dari 20.000 itu ternyata dialihkan untuk memenuhi kebutuhan kuota haji plus atau furoda,” ujarnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) tersebut adalah tindakan yang terlalu berani dan cenderung bisa berdampak pada persoalan serius.
“Ini adalah tindakan yang sangat sembrono yang dilakukan oleh Kementerian Agama dan ada potensi pelanggaran terhadap undang-undang,” tegasnya.
Luluk pun menekankan bahwa tindakan Kemenag ini melanggar undang-undang dan kesepakatan yang ada, serta tidak pernah dikonsultasikan dengan DPR.
“Prosedur dan mekanisme ini tidak digunakan, yaitu cek kepada undang-undang atau aturan bahkan kesepakatan dan hasil konsultasi dengan DPR,” tegasnya.
Anggota dewan dari Fraksi PKB ini juga menyoroti, bahwa penambahan kuota seharusnya dapat mengurangi beban antrean haji reguler yang sangat panjang, mencapai 38 hingga 48 tahun di beberapa provinsi.
Hanya saja, faktanya justru pengalihan kuota ini malah memperpanjang masa tunggu bagi jemaah haji yang sudah lanjut usia.
“Kami sangat menyayangkan antrean panjang jemaah haji reguler kita yang sudah luar biasa menumpuknya karena menunggu 38 hingga 48 tahun di beberapa provinsi di luar Jawa,” tandasnya.
“Dengan tambahan 20.000 ini relatif akan mengurangi beban dan juga memperpendek jarak khususnya bagi para jemaah yang usianya sudah relatif senior,” sambung Luluk.
Selain itu, Luluk juga menekankan bahwa kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang diuntungkan dan menilai bahwa ada potensi penyalahgunaan anggaran yang melanggar undang-undang, yang dapat mengundang penyelidikan dari institusi lain.
“Ini adalah tindakan yang sangat sembrono yang dilakukan oleh Kementerian Agama dan ada potensi pelanggaran terhadap undang-undang,” pungkasnya.