HOLOPIS.COM, JAKARTA – Banyak pihak yang menolak aturan mengenai kewajiban bagi pekerja maupun pemberi kerja untuk mengikuti program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang sejauh ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat.
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho pun memberi penjelasan terkait kepesertaan program Tapera. Ia menegaskan, bahwa tidak semua pekerja wajib untuk menjadi peserta program Tapera. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
“Terkait siapa saja yang wajib menjadi peserta Tapera, itu wajib atau nggak? Kalau melihat substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016, harus di pahami (bahwa) tidak semua pekerja diwajibkan menjadi peserta,” katanya dalam konferensi pers soal program Tapera, seperti dikutip Holopis.com, Jumat (31/5).
Dalam UU tersebut, sebagaimana dijelaskan Heru, bahwa pekerja mandiri atau swasta yang wajib menjadi peserta Tapera adalah mereka yang memiliki pendapatan atau gaji dengan besaran di atas upah minimum. “Di bawah minimum tidak wajib menjadi peserta Tapera,” terangnya.
Apapun, besaran iuran untuk program Tapera diterapkan sebesar 3 persen. dimana iuran sebanyak 2,5 persen ditanggung oleh pekerja, dan sisanya sebanyak 0,5 persen ditanggung perusahaan.
“Kami juga sudah melakukan benchmarking kepesertaan ke lembaga eksisting seperti PT Taspen, ASN, BPJS TK (Ketenagakerjaan) untuk swasta dan untuk pekerja mandiri,” tutup Heru.
Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko juga menjelaskan alasan pemerintah menjalankan program Tapera bagi pekerja mandiri dan swasta.
Dia menjelaskan, bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatasi berbagai permasalahan masyarakat di berbagai sektor, khususnya yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan.
“Presiden, pemerintah ingin menunjukkan kehadiran pemerintah dalam semua situasi yang dihadapi oleh masyarakat, khsusunya yang berkaitan dengan sandang, pangan dan papan, nah papan itu termasuk Tapera,” ujar Moeldoko.
Ia pun menjelaskan, Tapera merupakan perpanjangan dari Bapertarum-PNS, yang dulunya dikhususkan untuk aparatur sipil negara (ASN). Namun sekarang diperluas kepada pekerja mandiri dan swasta.
“Kenapa diperluas? karena ada problem backlog yang dihadapi pemerintah,” terangnya. Sampai dengan saat ini, ada 9,9 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah, ini data dari BPS ya, bukan ngarang,” jelasnya.
Atas hal itu, pemerintah berpikir keras menyelesaikan masalah tersebut. Terlebih jumlah kenaikan gaji para pekerja dan tingkat inflasi di sektor perumahan tidak seimbang.
“Untuk itu, maka harus ada upaya keras agar masyarakat pada akhirnya nanti bisa walaupun ada inflasi masih punya tabungan untuk membangun rumahnya,” ujarnya.