HOLOPIS.COM, JAKARTA – Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program perumahan untuk rakyat yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini karena menurut mereka, kebutuhan perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, papan).
“Bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Di mana dalam 13 Platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan,” kata Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, Rabu (29/5) seperti dikutip Holopis.com.
Ia menegaskan bahwa Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang dibutuh buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan upah yang layak melalui dana APBN dan APBD.
“Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat,” ujarnya.
Dengan demikian, sekalipun Partai Buruh dan KSPI mendukung Tapera, namun pola yang hendak dijalankan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2027 mendatang masih mereka tentang. Sebab, ada beberapa catatan sehingga Said Iqbal menilai Tapera tersebut belum bisa dijalankan dengan pendekatan pemerintah saat ini.
Setidaknya ada beberapa alasan, mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Pertama kata Iqbal, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera.
Ia khawatir jika program tersebut dipaksakan, maka hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera, yang notabane adalah pekerja dan buruh Indonesia.
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.
Iqbal menerangkan bahwa sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” tukasnya.
“Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” sambung Said Iqbal.
Alasan kedua mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
“Dalam UUD 1945 tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyediakan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Apabila buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5% ” kata Said Iqbal.
Dengan demikian, Iqbal menilai bahwa Tapera yang hendak dijalankan oleh pemerintah pusat justru bukannya menyejahterakan masyarakat, malah akan membebani buruh dan rakyat.
Bagi Iqbal, program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan.
Sedangkan alasan keempat, Program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN.
“Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera,” tukasnya.
Terakhir, Said Iqbal menyampaikan, bahwa Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera dijalankan oleh pemerintah saat ini, karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan Peserta Tapera.
“Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk menolak Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam Jaminan Kesehatan yang kesemuanya membebani rakyat,” pungkas Iqbal.