HOLOPIS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) disebut tidak bisa melakukan penuntutan terhadap Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. Pasalnya, Direktur Penuntutan (Dirtut) KPK disebut tidak mendapatkan delegasi untuk menuntut Gazalba.
Hal itu terungkap saat majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan pertimbangan hukum putusan sela atas eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh terhadal surat dakwaan JPU KPK. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebut surat perintah Jaksa Agung RI tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan pada Sekretaris Jenderal KPK tidak definitif.
“Meskipun KPK secara kelembagaan memiliki tugas dan fungsi penuntutan, namun jaksa yang ditugaskan di KPK dalam hal ini Direktur Penuntutan KPK tidak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai dengan asal single procession system,” ucap Anggota Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan, seperti dikutip Holopis.com, Senin (27/5).
Dengan demikian, Jaksa KPK tidak bisa melakukan penuntutan terhadap Gazalba jika Jaksa KPK tidak memperoleh pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dari Jaksa Agung. “Sehingga dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian tersebut di atas, maka menurut pendapat majelis hakim, Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi serta TPPU,” ujar Hakim Rianto.
Selain itu, Majelis Hakim sependapat dengan tim humum Gazalba yang menyatakan Jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan penuntutan terhadap Gazalba Saleh dari Jaksa Agung. Di mana ketentuan menuntut Hakim Agung itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Atas segala pertimbangannya itu, majelis hakim akhirnya menerima eksepsi Gazalba dan menyatakan penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum KPK dapat diterima. Dalam putusan sela ini, majelis hakim memerintahkan agar terdakwa Gazalba dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini.
“Menyatakan penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tdiak dapat diterima.Memerintahkan terdakwa Gazalba Saleh dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan,” ujar Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri.
Usai membacakan amar putusan sela, Hakim Fahzal Hendri menjelaskan, secara aturan hukum JPU KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba Saleh lantaran Direktur Penuntutan KPK tidak mendapatkan delegasi untuk menuntut Hakim Agung dari Jaksa Agung RI.
“Jadi ini tidak masuk kepada pokok perkara, biar saya jelaskan, ini hanya persyaratan (harus dimiliki Jaksa) kalau ada surat itu (delegasi Jaksa Agung), sudah ada surat itu bisa diajukan lagi. Jadi hanya formalitasnya saja, jadi karena ini yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa, kami pertimbangkan dan putusannya seperti itu,” ucap Hakim Fahzal.
“Kira-kira begitu ya penuntut umum, silakan dilengkapi surat surat nya, administrasinya, pendelegasian nya, kalau ada, diajukan lagi bisa kok. Ini hanya formalitas saja,” ditambahkan Hakim Fahzal.
Sebelumnya Gazalba didakwa oleh Jaksa KPK telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 62.898.859.745 atau Rp 62,8 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Dalam dakwaan, Gazalba disebut menerima gratifikasi senilai Rp 650 juta bersama pengacara asal Surabaya bernama Ahmad Riyad. Diduga penerimaan uang itu terkait pengurusan perkara terdakwa kasus pengelolaan limbah B3 bernama Jawahirul Fuad. Lalu, Gazalba juga disebut menerima jatah Rp 18.000 dollar Singapura atau Rp 200 juta.
Dalam dakwaan kedua, Gazalba disebut Jaksa KPK menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang hingga Rp 62,8 miliar. Dari jumlah itu, Rp 37 miliar dari terpidana Peninjauan Kembali (PK) bernama Jaffar Abdul Gaffar dan Rp 200 juta dari Jawahirul Fuad.
Gazalba juga diduga telah menerima uang 1.128.000 dollar Singapura atau Rp 13.367.612.160 (Rp 13,3 miliar) dan 181.100 dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 2.901.647.585, dan Rp 9.429.600.000.
Dalam dakwaan, Gazalba juga diduga menyamarkan dan menyembunyikan asal usul uang itu dengan cara membelanjakan, membayarkan, dan menukarkan dengan mata uang asing. Terkait hal itu, Gazalba diduga membeli Mobil Toyota Alphard, emas Antam, properti bernilai miliaran rupiah.
Sementara itu, kubu Gazalba nota keberatannya menuding Jaksa KPK tidak berwenang menuntutnya dalam perkara dugaan gratifikasi dan TPPU. Jaksa KPK disebut tidak menerima pelimpahan kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung sebagaimana ketentuan UU Kejaksaan RI.