HOLOPIS.COM, JAKARTA – Hukum mengenai ibadah kurban yang dilakukan setiap Idul Adha masih menjadi perdebatan di masyarakat. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hukum berkurban adalah sunnah.
Namun, ada pula ulama yang berpendapat bahwa hukum berkurban adalah wajib. Pendapat mengenai hukum wajib berkurban ini didukung oleh beberapa tokoh seperti Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, hingga Imam Ahmad.
Mereka berargumen, bahwa seseorang yang memiliki kemampuan finansial wajib untuk berkurban sebagai bentuk ibadah dan syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT.
Namun di sisi lain, mayoritas ulama (jumhur) menyatakan, bahwa hukum ibadah kurban dalam Islam bersifat Sunnah Mu’akkadah, yaitu sunnah yang sangat ditekankan.
Ibnu Hazm dalam pendapatnya menegaskan, bahwa tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib. Pernyataan ini menguatkan pandangan, bahwa kurban merupakan anjuran yang sangat ditekankan.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan keragaman interpretasi dalam memahami teks-teks agama dan bagaimana mereka diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam.
Bagi mereka yang berpegang pada pendapat wajib, ibadah kurban menjadi sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu, sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan.
Sementara itu, bagi yang mengikuti pendapat sunnah mu’akkadah, ibadah kurban adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun tidak mengandung konsekuensi dosa jika ditinggalkan, asalkan tidak meremehkan syariat.
Namun terlepas dari sunnah atau wajib yang telah dijelaskan di atas, ibadah kurban berubah menjadi wajib hukumnya, jika seseorang bernadzar. Misalnya saat ia mengatakan, “Saya akan berkurban saat saya memperoleh … (keinginannya).”
Dalam kasus nadzar, kewajiban tersebut menjadi mengikat karena seseorang telah berjanji kepada Allah untuk melaksanakan kurban, sehingga seseorang pun bertanggung jawab untuk memenuhinya.