Dia juga mengaku telah meminta Pemerintah untuk mengkaji ulang KRIS dengan melakukan standarisasi ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3, bukan membuat KRIS menjadi satu ruang perawatan.
“Pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat untuk pembahasan perpres 59, apalagi soal KRIS. Tidak ada uji publik atas pembuatan regulasi KRIS. Seharusnya pemerintah menempatkan masyarakat sebagai subyek yang harus didengar masukannya,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, KRIS sudah diregulasikan di Perpres 59/2024. Oleh karenanya, Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memiliki program untuk memastikan peserta JKN mendapat kemudahan dalam mengakses ruang perawatan.
“Tidak boleh ada lagi peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan, sehingga menjadi pasien umum yang bayar sendiri. JKN jadi tidak bisa digunakan,” tegas Timboel.
Bila di sebuah Rumah Sakit memang kamar perawatannya penuh, lanjutnya, Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus segera mencarikan Rumah Sakit yang mampu merawatnya, dan merujuk ke Rumah Sakit tersebur, dengan ambulan yang dibiayai JKN.
“Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari ssndiri Rumah Sakit yang bisa merawat mereka. Sayangnya, di Perpres 59 ini tidak ada klausula yang mewajibkan Pemerintah serta BPJS Kesehatan yang mencarikan Rumah Sakit yang bisa merawat,” tandasnya.
Untuk itu, Timboel berharap dalam aturan teknis mengenai KRIS yang nantinya akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), turut disematkan klausula terkait kewajiban untuk mencarikan Rumah Sakit pengganti apabila terjadi keterbatasan ruang perawatan.
“Saya berharap di Permenkes KRIS nanti klausula tersebut disebutkan secara eksplisit sehingga Pemerintah dan BPJS Kesehatan benar benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS,” pungkasnya.