HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan bahwa pihaknya sangat menolak adanya proses Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislasi DPR RI.

Pasalnya menurut Ninik, RUU tersebut dianggap bakal menghilangkan hak kebebasan Pers di Indonesia sebagai lembaga independen.

“RUU penyiaran ini menjadi salah satu menyebab pers kita tidak dapat merdeka dan tidak independen. Kemudian tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas,” kata Ninik dalam konferensi persnya di Jakarta Pusat, Selasa (14/5) seperti dikutip Holopis.com.

Kemudian, ia juga menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga unsur yang menyebabkan RUU dapat menghambat kebebasan pers, khususnya di dunia penyiaran.

Unsur pertama kata Ninik, RUU ini dapat menghambat karya jurnalistik terbaik lantaran adanya larangan membuat liputan investigatif. Jelas aspek ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif dan ini sangat bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999. Khususnya pasal 4, sebab kita tidak pernah mengenal penyensoran,” ujar Ninik.

Bunyi Pasal 4 UU Pers ;

1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Kemudian, unsur kedua yakni RUU dinilai tidak melalui prosedur yang layak lantaran tidak melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat. Menurut Ninik, pihaknya tidak merasa dilibatkan dalam pembentukan RUU tersebut.

“Unsur ketiga adalah RUU itu membuat lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa. Hal tersebut membuat kesan tumpang tindih kewenangan lantaran seharusnya kami yang berwewenang menyelesaikan sengketa pers,” ucap Ninik.

Menurut Ninik, RUU ini sangat berseberangan dengan Perpres Nomor 32 Tahun 2024 yang baru diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dimana, perpres ini mengatur soal tanggung jawab perusahaan platform digital dalam penyediaan berita jurnalisme yang berkualitas.

“Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di dewan pers, dan itu dituangkan dalam UU. Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi,” ujar Ninik.