HOLOPIS.COM, YOGYAKARTA – Pakar hukum tata negara, Prof Mahfud MD menegaskan bahwa tidak perlu lagi ada perdebatan antara Indonesia dalam konteks relasi agama dan negara. Sebab menurutnya, perdebatan dan perbedaan antar keduanya selesai secara tuntas.
Bahkan kata Mahfud MD, konsep dan konstruksi kita sudah pula diputuskan pendiri-pendiri bangsa kalau Indonesia merupakan negara beragama.
Artinya, Mahfud menegaskan, sudah diputuskan Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama. Kalau negara agama, agama jadi pedoman formal, sedangkan negara beragama, agama diakui dan nilai-nilai kemuliaan masuk dalam kehidupan bernegara.
“Indonesia itu bukan negara agama, tapi agama yang menjadi sumber-sumber nilai penyelenggaraan negara,” kata Mahfud dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII) dan MMD Initiative di Kampus Terpadu UII, Selasa (30/4) seperti dikutip Holopis.com.
Mantan Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju tersebut turut membicarakan Piagam Madinah dan Proklamasi yang bunyinya saja sudah senada. Karenanya, ia menyampaikan pujian kepada pendiri-pendiri bangsa yang mampu merumuskan Proklamasi dengan begitu indahnya sebagai dasar negara.
“Piagam Madinah itu seperti Proklamasi bunyinya. Makanya, itu hebat yang bikin Proklamasi, itu seperti Piagam Madinah yang dibahasakan Indonesia,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Masykuri Abdillah mengatakan, hubungan antara agama dan negara di Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara Eropa. Ia mengingatkan, Indonesia menghargai dan mengakui enam agama dengan masing-masing hari liburnya.
Pun soal pendirian rumah ibadah yang ia rasa Indonesia masih jauh lebih baik dibanding negara-negara di Eropa atau Amerika sekalipun. Walau fakta lapangan menunjukkan ada tantangan-tantangan, tapi tidak mempengaruhi kerukunan antar umat yang terjaga.
“Sementara, di Eropa itu sulit, di Amerika juga sulit, saya pernah meneliti juga soal ini. Misalnya, di Italia, penduduk Muslim hampir dua juta, tapi masjid hanya ada delapan,” kata Masykuri.
Guru Besar UKDW Yogyakarta, Tabita Kartika melihat, secara kemitraan agama dan negara dapat bekerja sama. Termasuk, menjawab persoalan demokrasi, HAM dan hukum kontemporer.
Selain itu, ia merasa, kehadiran agama memberi kritik yang membangun kepada negara. Karenanya, keberadaan agama tidak cuma penting tapi menjadi sangat vital bagi negara.
“Untuk mengingatkan pentingnya menegakkan etika, kebenaran dan keadilan, tanpa diskriminasi dalam negara hukum,” ujar Tabita.